Malioboro Yogya di Pagi Hari ditulis oleh Sitor Situmorang, seorang penulis puisi yang tak kalah hebatnya dari penulis-penulis lain. Tidak perlu ditanyakan lagi apakah dia mengenal banyak sudut kota di Indonesia dengan sangat baik karena dia memulai karir sebagai wartawan di usia muda.
Beberapa kota menjadi objek dalam karyanya, salah satunya adalah kota Jogjakarta. Sitor Situmorang pernah menetap di Jogjakarta dalam kurun waktu yang singkat yakni dari tahun 1947-1948 saat ia menjadi koresponden di kota seni tersebut. Dalam waktu yang singkat itu, beliau sangat mencintai kota tersebut sehingga mampu menyampaikan keindahan kota Jogja dalam salah satu puisinya yang berjudul "Malioboro Yogya di Pagi Hari".
Puisi Malioboro Yogya di Pagi Hari yang akan dibahas kali ini akan dianalisis menggunakan analisis mimetik. Analisis mimetik adalah analisis yang dilakukan dengan pendekatan karya sastra kepada alam semesta atau kenyataan yang ada di muka bumi ini bahkan lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebut. Menurut Abrams (1981: 89) Analisis mimetik memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas. Sedangkan menurut Plato lewat mimetik, seni dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak secara nyata.
Bait pertama terdapat larik "irama arsitektur toko cina dan atap-atap Yogya lama", di kehidupan nyata, memang ada toko-toko Tionghoa di sekitar Malioboro. Bahkan, tidak hanya pertokoan, tapi juga perkampungan etnis Tionghoa Kampung Ketadan. Di kawasan ini banyak orang Tionghoa yang tinggal dan membangun kehidupannya sehingga masyarakat umum mengenal Ketadan sebagai Pecinan Yogyakarta. Bentuk arsitektur toko-toko Tionghoa menambah keindahan Jalan Malioboro.
Bait ketiga tertulis "menggapai langit para resi (obrolan supir-supir taksi di lobby hotel cantolan hadirku di bumi)". Pada zaman ketika puisi ini ditulis memang selalu ada supir taksi yang menunggu calon penumpangnya di lobi hotel. Sembari menunggu penumpang, para sopir taksi mengisi waktu luangnya dengan bertukar cerita dan tertawa di samping taksi. Keramahtamahan itu menyentuh hati Sitor Situmorang dan dituangkan dalam syair-syairnya.
Bait keempat dan kelima terdapat larik "Malioboro terbangun", "berpapasan bau turis warna dagangan dan langkah orang desa ke kota". Bait ini menggambarkan suasana pagi Malioboro di tahun 1947 dimana turis berlalu-lalang membeli cinderamata dan langkah kaki orang desa yang memamerkan hasil kerajinannya di sisi kota Yogyakarta. Namun, keunikan Malioboro sebagai tempat mencari oleh-oleh khas Yogyakarta tidak hanya bertahan pada masa itu. Bahkan sekarang, Malioboro tetap pada peran sebelumnya.
Di Bait terakhir terdapat larik "Yogya-ku, yang selalu tua, yang selalu muda". Menurut sejarahnya, kota Yogyakarta menjadi salah satu kota tertua di Indonesia. Namun beberapa tahun terakhir tidak meninggalkan kota ini. Kota ini selalu tumbuh dengan jiwa muda dan seni tanpa kehilangan keaslian kotanya.
Puisi Malioboro Yogya di Pagi Hari karya Sitor Situmorang dapat dianalisis secara mimetik atau mendekatkan dengan keadaan pada kehidupan nyata (tiruan kenyataan). Sekian penjabaran singkat mengenai analisis mimetik pada puisi Malioboro Yogya di Pagi Hari karya Sitor Situmorang.
Daftar Referensi:
Abrams, M. H. (1981). Teori Pengantar Fiksi. Yogyakarta: Hanindita Graha Wida.
Rahayu, I. (2014). Analisis Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Pendekatan Mimetik. Deiksis Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(1).