Lihat ke Halaman Asli

Kristian Wongso

Mahasiswa Magister Ilmu Kriminologi

Audisi Pemilihan Koko Cici Jakarta 2013

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Yakin mau berangkat jam segini?”

“Ya, berangkat sekarang saja. Takut telat nanti.”

“Ini terlalu pagi untuk berangkat. Nanti kamu keburu bosan di sana.”

“Tidak apa, lebih baik kepagian daripada kesiangan.”

Dan akhirnya saya dengan niat sendiri keluar rumah jam 06.00 pagi. Karena saya sangat parno telat, apalagi kali ini saya akan menuju ke tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, maka saya memilih untuk naik taksi saja.

Keletihan saya akibat kurang tidur semalam (entah karena terlalu semangat atau terlalu cemas) pagi itu tidak terasa. Jantung berdegup sembari rasa penasaran memuncak. Penasaran seperti apa rupa para peserta Pemilihan Koko Cici Jakarta 2013.

Lagi-lagi idiom “Perkataan ibu selalu benar” kembali terbukti. Saya tiba di Kantor Walikota Administrasi Jakarta Barat pada pukul 06.30. Hari itu hari Sabtu. Sangat wajar saja bila lalu lintas terlalu bersahabat dengan saya pagi itu.

Saya bingung apa yang harus saya lakukan untuk menunggu datangnya jam 08.00, jam yang ditentukan sebagai awal audisi. Akhirnya saya duduk menunggu sambil sarapan di salah satu restoran cepat saji yang terletak persis di depan kantor pemerintahan itu.

Saat sedang menenggak kopi, sebuah pertanyaan mendasar terlintas di pikiran saya: “Apa kamu yakin ikut kompetisi ini?” Saya terdiam sejenak. Dan saya kemudian kembali makan.

Koko Cici Jakarta adalah duta pariwisata Jakarta yang mengkhususkan diri untuk pelestarian budaya Tionghoa, berbeda dengan kakaknya, Abang None Jakarta, yang lebih fokus ke budaya Betawi. Mengikuti kompetisi duta pariwisata memang sama sekali tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikan saya. Tapi saya ingin mempelajari bidang lain selain bidang saya, karena saya sadar bahwa kita bisa belajar dari sumber mana saja.

Saya mengikut kompetisi ini bukan karena saya keturunan Tionghoa, tapi karena saya memiliki ketertarikan terhadap budaya Tionghoa. Masa kecil saya dihabiskan di bagian timur Indonesia yang tentu saja tidak diwarnai budaya Tionghoa yang marak seperti di Jakarta ini. Akan tetapi, ibu saya sering menyanyikan lagu-lagu Mandarin sedari saya masih SD. Semenjak itu, minat terhadap kebudayaan Tionghoa sudah mulai tumbuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline