Lobi-lobi politik dengan uang agaknya menjadi cerita klasik dalam ruang gerak politik. Akan tetapi, "bargaining politic" dengan menjadikan uang sebagai senjata utama justru saat ini pelan-pelan diubah dengan senjata politik modern.
Kekuatan politik modern bermain dengan mekanisme koleksi data skandal sejumlah elite dan menaklukan dengan cara menyandera lawan politik. Sederhana, tapi tepat sasar. Dengan mengancam, lawan politik tunduk untuk tujuan apa saja.
Jejak politik Anies Baswedan pasca deadline pendaftaran calon kepala daerah DKI-Jakarta ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti mengalami aporia atau jalan buntu. Anies tak diusung siapa-siapa.
Seharusnya, Anies bisa mendapat tiket untuk maju ke Pilkada DKI-Jakarta, jika PDI-P mau mengusungnya. Tapi apa daya, PDI-P, kini, tak lagi bertaring. Di satu sisi, PDI-P punya komitmen untuk mengusung kandidat sendiri.
Di sisi lain, kontrol kekuasaan terkait berbagai kasus hukum yang menjerat sejumlah petinggi PDI-P membuat upaya mengusung Anies tinggal kenangan.
Keputusan PDI-P mengusung Sekertaris Kabinet Pramono Anung dan Rano Karno adalah pilihan akrobat politik. Nama Pramono Anung selama ini memang tidak pernah disinggung, baik oleh kalangan internal PDI-P sendiri, maupun hasil survei.
Lain halnya dengan Rano Karno yang pernah menjadi Wakil Gubernur Banten mendampingi Ratu Atut. Nama Pramono Anung justru hadir di detik-detik terakhir pasca Anies menyambangi Kantor DPP PDI-P.
Ikhtiar publik menyela sebentar kalau-kalau Anies Baswedan bakal diusung PDI-P melawan koalisi gendut KIM Plus (Golkar, Gerindra, dan PAN) rupanya jauh dari latar depan panggung politik PDI-P.
Seknario mengusung Anies ini rupanya sudah dibaca penguasa. Mencalonkan Anies Baswedan tidak lain membuat langkah politik PDI-P lima tahun mendatang menjadi teseok-seok.
Elite PDI-P rupa-rupanya jeri melawan tekanan penguasa di last lap pendaftaran. Penguasa diketahui bakal mengancam akan membuka kasus hukum sejumlah petinggi PDI-P termasuk keluarga Megawati Soekarnoputri.