Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Michel Foucault, Seksualitas, dan Kebenaran

Diperbarui: 9 Oktober 2023   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Michel Foucault. Foto: https://artikula.id

Michel Foucault seorang filsuf Prancis mengatakan bahwa "Pada dasarnya, kita hanya berusaha menyamarkan seks ketika seks begitu sering dibicarakan, dilipatgandakan, dikungkung, dan dispesifikasi."  Sampai generasi Sigmund Freud, wacana tentang seks (wacana ilmuwan dan ahli teori) berpretensi membicarakan seks dari sudut pandang yang dimurnikan dan netral, yaitu sudut pandang ilmiah. Dengan alasan demi mengatakan yang sebenarnya, ilmu itu menyulut ketakutan di mana-mana. Setiap perubahan pada seksualitas -- sampai sekecil apapun -- menjadi dalih untuk merekonstruksi berbagai penyakit khayalan yang konon akan terasa dampaknya selama beberapa generasi. Di ujung kenikmatan-kenikmatan yang "berbeda" hanya dilihat sebagai maut olehnya, baik untuk individu, generasi, maupun untuk seluruh umat manusia.

Menurut Foucault, munculnya biologi reproduksi dan kedokteran seks bukan mengatakan kebenaran, melainkan menghambat kebenaran. Baginya, biologi reproduksi berasal dari hasrat akan pengetahuan yang mendasari pembentukan wacana ilmiah Barat, sedangkan kedokteran seks berasal dari suatu kemauan keras untuk menolak pengetahuan. Akan tetapi, yang terpenting adalah bahwa di sekitar dan mengenai seks dibangun suatu upaya untuk mengungkapkan kebenaran. Seks bukan hanya urusan perasaan dan kenikmatan, hukum atau larangan, melainkan juga kebenaran dan kepalsuan. Kebenaran tentang seks harus menjadi hal yang esensial, berguna atau berbahaya, berharga atau ditakuti. Singkat kata, seks dibentuk sebagai pertaruhan kebenaran.

Terkait dengan seks sebagai pertaruhan kebenaran, Foucault kemudian meyebut adanya dua prosedur untuk mengungkapkan kebenaran tentang seks antara lain, ars erotika (Cina, Jepang, India, Roma, Arab-Islam) dan scientia sexualis (Barat).  Dalam ars erotica, kebenaran diperoleh dari kenikmatan itu sendiri, sebagai praktik dan dipetik sebagai pengalaman. Sedangkan, dalam scientia sexualis, untuk mengatakan kebenaran tentang seks, telah dikembangkan berbagai prosedur yang ditata dalam bentuk pengetahuan-kekuasaan. Pengetahuan-kekuasaan ini mengurus masalah pengakuan. Di Barat, pengakuan menjadi salah satu teknik yang paling diunggulkan untuk mengungkapkan kebenaran.  Proses pengungkapan kebenaran seluruhnya dikuasai oleh hubungan kekuasaan.

Sejak pengakuan dosa ala Katolik hingga kini, seks merupakan bahan pengakuan yang diunggulkan. Di dalam pengakuanlah kebenaran dan seks berkaitan. Pengakuan adalah ritus wacana. Pengakuan juga merupakan ritus yang berkembang dalam hubungan kekuasaan. Pengakuan menjadi patokan umum yang menguasai pengungkapan wacana benar tentang seks.  Untuk itu, diperlukan cara-cara untuk memperoleh pengakuan seksual dalam bentuk yang ilmiah antara lain: a) dengan jalan membakukannya sebagai ilmu klinis prosedur "menyuruh bicara"; b) dengan postulat suatu kausalitas umum dan ke segala arah; c) dengan asas menganggap sebagai sesuatu yang secara hakiki bersifat laten; d) degan metode interpretasi; e) melalui medikalisasi berbagai dampak pengakuan.

Masyarakat Barat beralih dari ars erotica ke scientia sexualis meskipun Ars erotica tidak pernah hilang dari peradaban Barat dengan maksud mengungkapkan berbagai wacana benar tentang seks. Scientia sexualis (dikembangkan sejak abad ke-19) tetap menggunakan ritus pengakuan sebagai teknik utama untuk mengungkapkan kebenaran. Ritus ini sejak abad ke-16 sedikit demi sedikit dipisahkan dari sakramen pengakuan dosa, bergeser ke arah pendidikan, hubungan kekerabatan, ilmu kedokteran dan psikiatri. Maka melalui sarana pengakuan, sesuatu yang disebut "seksualitas" itu telah berhasil muncul sebagai kebenaran tentang seks dan berbagai kenikmatannya.

Menurut Michel Foucault, seksualitas berkembang sejajar dengan perkembangan praktik penalaran yang lamban, yang disebut scientia sexualis.  Ciri-ciri mendasar seksualitas cocok dengan tuntutan fungsional yang ada dalam wacana yang harus mengungkapkan kebenarannya. Pada titik persilangan teknik pengakuan dan penalaran ilmiah, di situlah seksualitas ditetapkan sebagai "kodrat": suatu bidang yang tertembus oleh berbagai proses patologis, dan karena itu menghendaki berbagai intervensi penyembuhan dan normalisasi.

Masyarakat yang berkembang pada abad ke-18 (borjuis, kapitalis atau industrialis) memfungsikan suatu peralatan untuk mengungkapkan berbagai wacana benar mengenai seks. Masyarakat itu juga telah merumuskan formulanya secara teratur seolah seks dicurigai mengandung rahasia pokok; seolah masyarakat membutuhkan produksi kebenaran itu; seolah penting sekali bagi masyarakat bahwa seks dimasukkan bukan hanya dalam ekonomi kenikmatan melainkan juga dalam suatu sistem pengetahuan yang tertata.  Dengan demikian, seks lama kelamaan menjadi objek kecurigaan besar.

Akibatnya terjadi pergeseran dan transformasi hubungan pengetahuan-kekuasaan. Ada rencana suatu ilmu manusia mulai mengedari masalah seks. Kausalitas pada manusia, alam bawah sadar manusia, kebenaran manusia dalam diri manusia lain yang mengetahui, pengetahuan mengenai dia yang tidak diketahui olehnya sendiri, semua itu ternyata berkembang dalam wacana tentang seks. Perkembangan ini sesuai dengan berbagai taktik kekuasaan yang imanen di dalam wacana itu.  Dengan demikian, seks akhirnya dijadikan sebagai objek pembentukan pengetahuan dan pelipatgandaan wacana.

Memang benar bahwa di sekitar seks dan mengenai seks dibangun suatu upaya untuk mengungkapkan kebenaran. Seks dibentuk sebagai pertaruhan kebenaran oleh relasi kekuasaan (pastoral katolik, pendidikan, kedokteran, dan psikiatri). Kekuasaan berpretensi mengungkapkan kebenaran tentang seks dengan mengambil bentuk ilmiah dari seksualitas. Hal ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa kekuasaan itu mau melokalisir keingintahuan (will to know), sebagai kehendak untuk menguasai (will to power). Dengan kata lain, kehendak untuk tahu menjadi proses dominasi terhadap manusia.  Pendek kata, kekuasaan, pengetahuan, dan kebenaran itu saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Efeknya, seks akhirnya dijadikan sebagai objek pembentukan pengetahuan dan pelipatgandaan wacana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline