Politik itu seni dari segala kemungkinan. Dalam politik, kemungkinan itu bisa berupa uang. Dari situ, politik pun identik dengan uang. Masuk ke kanal politik, seseorang butuh uang. Bertahan di salah satu partai politik, orang butuh uang. Jangan heran jika mau naik ke kursi kekuasaan, uang adalah senjata yang wajib digunakan oleh si politikus.
Politik uang merupakan hal yang biasa. Di mana-mana, di pelosok negeri ini, ketika tiba waktunya Pemilu, komposisi konten pembahasan masyarakat tentunya berkisar tentang uang. Antisipasi pergerakan uang di masa kampanye menuju tangga Pemilu merupakan strategi politik yang kerapkali digunakan oleh sebagain kandidat di negeri ini. Ketika permainan politik tanpa diikuti uang, jalan menuju kursi kepemimpinan pun takkan mudah untuk dijajaki.
Menurut Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ratna Dewi Pettalolo, politik uang bisa menjadi tantangan terberat di periode Pemilu serentak 2024. Menurut Ratna Dewi, mekanisme politik uang tidak lagi berkutat di antara peserta pemilu dan konstituen atau pemilih, tetapi juga merambah ke penyelenggara Pemilu.
Dari besaran dana pemilu yang tengah dipersiapkan oleh negara untuk Pemilu 2024, publik berharap KPU dan Bawaslu sebagai panitia penyelenggara Pemilu, bisa menggunakan anggarannya sesuai dengan kebutuhannya. Besaran anggaran Pemilu 2024 yang sudah disepakati adalah sekitar Rp 76,6 triliun. Angka yang fantastis ini sebaiknya perlu mendapat pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah dan masyarakat.
Dengan dana sekitar Rp 76,6 triliun, KPU dan Bawaslu sebagai tim penyelenggara Pemilu seharusnya tidak lagi jatuh pada pusaran politik uang. Jual-beli suara dengan memainkan orang dalam di kanal KPU, sebaiknya perlu diawasi agar tidak memunculkan produk-produk pemimpin yang bermasalah di kemudian hari. Jika cara-cara yang tidak demokratis telah dipermainkan di awal perjuangan menuju kursi kepemimpinan, dengan sendirinya, sosok pemimpin yang terpilih akan mudah jatuh dalam pusaran korupsi. Aksi ugal-ugalan dengan sistem "sawer politik" bukan cerminan Pemilu yang demokratis. Aksi "sawer" menuju panggung kuasa, justru membentuk karakter pemimpin yang korup dan tak bermoral.
Pada Pemilu 2024 nanti, ada sekitar 271 daerah yang akan mengadakan Pilkada. Detailnya, ada sekitar 24 provinsi yang akan mengadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, ada 56 kota memilih walikota dan wakil walikota, dan 115 kabupaten melakukan pemilihan bupati dan wakil bupati. Menurut data KPU, ada sekitar 205.853.518 orang penduduk Indonesia yang tercatat dalam daftar pemilih sementara (DPS). Jumlah DPS ini tersebar di 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, 83.860 kelurahan/desa. Dengan jumlah pemilih yang ada, kompetisi di antara para kandidat pun akan semakin sengit. Dalam kesengitan inilah, uang kerapkali hadir sebagai jembatan penyederhana.
Waktu Pemilu serentak 2024 nanti, tentu ada begitu banyak godaan yang akan menghantui masyarakat. Godaan ini datang silih berganti untuk "mengganggu" nurani para pemilih. Bau-bau penyebaran uang saat masa tenang menjelang Pemilu memang harus ditangani dengan pembentukan satuan tugas (satgas) khusus.
Biasanya, pada momen minggu tenang, para kandidat melancarkan aksinya agar para pemilih mudah digiring ke salah satu pasangan calon yang diusung. Proses penggiringannya selebar selembar uang. Untuk itu, masa-masa minggu tenang menjadi waktu jeda yang perlu diantisipasi oleh tim satgas antipolitik uang. Satgas antipolitik uang perlu menempatkan anggota timnya di wilayah-wilayah tertentu sebagai mekanisme pengintaian.
Selain di waktu minggu tenang, para pelaku juga kadang bermanuver pada pagi hari sebelum waktu pencoblosan tiba. Manuver sebelum matahari terbit seringkali dekenal dengan istilah "Serangan Fajar." Pagi hari sebelum para pemilih menuju tempat pencoblosan, aksi "serangan fajar" justru bergerak. Pada momen-momen terakhir ini, para pemilih mudah digiring untuk masuk ke dalam perangkap para oknum yang bergerak saat matahari terbit. Semua momen pergerakan politik uang ini benar-benar menggunakan semua waktu dengan bijak. Artinya, waktu saat menjelang pencoblosan memang menjadi momentum.
Aksi "serangan fajar" pada gilirannya menjadi salah satu wilayah bidikan KPK. Kampanye KPK untuk melawan aksi politik uang sejatinya bertujuan untuk menyadarkan masyarakat dan para kandidat agar bertarung secara jujur saat kegiatan Pemilu. Penekanan lembaga antirasuah ini memang sebagai bagian dari bentuk kerja sama dengan masyarakat. Jika masyarakat menemukan aksi yang kurang sportif di lapangan oleh oknum kandidat tertentu, masyarakat diharapkan untuk melaporkannya kepada petugas berwajib.