Politik identitas selalu mengarah pada polarisasi dan friksi di tengah masyarakat. Ketika politik dibawa ke ring pertarungan menggunakan identitas-identitas tertentu, sudah pasti nilai-nilai politik itu sendiri runtuh seketika. Ketika berjubah identitas tertentu, politik akan lebih frontal dalam memainkan perannya. Di ruang politik identitas, dikotomi dan oposisi biner justru lahir dan berkembang. Di sini-lah letak perpecahan dan polarisasi terbangun.
Kita mungkin sering mendengar istilah pasangan calon (paslon) nomor urut satu atau nomor urut dua, cebong atau kampret, mayoritas atau minoritas, pribumi atau pendatang pada periode Pemilu sebelumnya. Kedua kutup ini tentunya mempropaganda friksi di tengah masyarakat. Muncul kubu cebong dan kampret sangat memecah-belah. Dua kutub ini seringkali bersinggungan saat menjelang Pesta Demokrasi bertajuk Pemilihan Umum (Pemilu). Dua kutub ini pada dasarnya membentuk sebuah oposisi biner yang ujung-ujungnya meracuni dinamika persatuan dan kesatuan bangsa. Pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, oposisi biner cebong-kampret memadati kosa-kata jagat dunia maya. Untungnya, dua kutub yang saling bersinggungan ini, kini bisa berdamai.
Pesta demokrasi bertajuk Pemilu hampir mendekati titik start. Masing-masing partai politik (parpol) saat ini sibuk ke sana ke mari untuk mencari dukungan. Di daftar bursa calon presiden (capres), hanya Anies Baswedan yang berani maju ke panggung deklarasi saat ini. Kandidat-kandidat lain, disinyalir belum mempunyai cukup amunisi untuk naik ke podium deklarasi. Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) saat ini tengah mengandalkan Ganjar Pranowo sebagai capres yang maju pada ajang Pilpres 2024. Di kubu sebelah, Prabowo Subianto masih bersilaturahmi ke beberapa partai. Sepintas kandidat-kandidat yang muncul di etalase bursa capres saat ini memiliki keunikan masing-masing.
Ketika para kandidat belum memperlihatkan "taring politiknya" menuju Pemilu 2024, kondisi akar rumput saat ini justru masih terlihat adem-adem saja. Garis demarkasi politik antar-kubu belum ditarik secara vertikal untuk membuat dikotomi antara para pendukung. Akan tetapi, isu yang digulirkan cukup misterius. Ada narasi bahwa masing-masing kandidat sepertinya memiliki porsi yang sama jika ditakar dari isu-isu konvensional yang dibangun selama ini. Dari kacamata agama, jika tiga kandidat maju sebagai capres (Anies, Ganjar, dan Prabowo), porsi dukungan akan merata. Poros dukungan dipastikan tidak akan menumpuk di satu paslon. Hal ini bisa dilihat sebagai salah satu bentuk perbaikan dalam peta perpolitikan di Indonesia saat ini. Kompetisinya pun lebih sportif.
Akan tetapi, bagaimana dengan isu pribumi-pendatang yang selalu menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Isu ini akan bergulir ketika arah dukungan Presiden Joko Widodo terlihat ke salah satu kubu. Jika arah dukungan Presiden Jokowi ke Prabowo, otomatis Prabowo akan melanjutkan semua pekerjaan rumah yang ditinggalkan pendahulunya, termasuk meyakinkan masyarakat terkait label "antek asing." Poin ini memang bukan hal yang mudah. Ketika desain Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) diinterpretasi sebagai bentuk dukungan kepada investor asing, hal ini tentunya dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Masing-masing pendukung bisa saja menggunakan isu ini sebagai bentuk perlawan terhadap rivalnya di masa kampanye Pilpres.
Fenomena polarisasi yang diciptakan melalui opisisi biner pada dasarnya memecah-belah persatuan bangsa. Penciptaan oposisi biner demi memperkuat dukungan justru jatuh pada tindakan diskriminasi. Dalam kutub oposisi biner, salah satu kubu pasti akan didahulukan dan menjadi subordinasi. Di dalam dua kutub yang saling mengsubordinasi, dipastikan muncul tindakan-tindakan yang lebih berbahaya lainnya, yakni permusuhan di level horisontal-masyarakat. Anehnya, permusuhan ini bisa berkubang di hati para pendukung hingga bertahun-tahun. Hemat saya, ini sesuatu yang menggelikan.
Menuju Pemilu 2024, keadaan-keadaan demikian sejatinya perlu dihindari. Isu-isu seputar identitas suku, agama, ras, golongan, dan lain-lain harus dikesampingan demi sportivitas pertarungan visi-misi pemimpin dan kemajuan bangsa ke depan. Poin yang perlu dikedepankan dalam hal ini adalah kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Sportivitas dalam bertarung ide, gagasan, visi-misi, dan kepemimpinan-lah yang perlu dijaga dan dipertontonkan kepada semua masyarakat termasuk dalam sekat-sekat pikiran kubu pendukung para kandidat.
Jika kita mendambakan Pemilu yang demokratis dan damai, apa yang mungkin dipersiapkan agar politik identitas tidak lagi diobral? Apa yang mungkin bisa dilakukan untuk mengurung politik identitas? Di era perkembangan informasi dan teknologi, diksi dan viralitas adalah dua hal perlu kita cermati secara bijak dan mendalam. Di ruang digital, porsi penggunaan diksi memecah-belah, hemat saya, perlu dikendalikan. Tata ruang berkomunikasi dan berinteraksi di jagat maya harus bijak dan beradab.
Semua kenyataan ini dirasa penting karena pola interaksi di ruang digital kerapkali memainkan perasaan setiap orang secara masif. Akibat permainan perasaan karena tontonan atau bacaan tertentu di media sosial, orang akhirnya ramai-ramai mengviralkan apa yang ditonton atau dibaca kepada orang lain. Fenomena seperti ini seringkali membuat masyarakat terpecah-belah. Diksi-diksi sarkasme, fitnah, hinaan, berita bohong, dan diskriminasi akhirnya bertebaran di mana-mana. Dari sinilah konsep-konsep diskriminasi mulai muncul. Label-label konservatis dan propagandis akhirnya digulirkan untuk memecah-belah kesatuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H