Aksi berburu minyak goreng akhir-akhir ini menyita perhatian publik. Minyak goreng seakan-akan menjadi maskot di penghujung Februari 2022. Hilir-mudik ibu-ibu penyangga dapur pun tak terkulai di barisan antrian. Krisis minyak goreng pun menyeka pelupuk kekhawatiran kita.
Untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng dan pemerataan distribusi, Kementerian Perdagangan telah menaikan porsi kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation -- DMO) bagi para eksportir minyak sawit mentah dan olein. Kebijakan ini dibuat untuk mengembalikan neraca keseimbangan dalam sirkulasi belanja pasar. Postur pergeseran kenaikan ini antara lain dari angka 20 persen menjadi 30 persen (Kompas, 10/3/2022).
Selain membuat kebijakan pengamanan pasokan bahan baku dan keterjaminan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga menggandeng Kepolisian Republik Indonesia untuk mengamankan oknum-oknum yang bermain dalam mafia minyak ini.
Para spekulan, penimbun minyak goreng, dan para penyelundup minyak sawit mentah (CPO) sejatinya perlu ditindak tegas. Permainan di antara kelompok ini seringkali mengganggu sirkulasi pasokan bahan baku.
Sejauh ini, harga patokan sesuai DMO masih dipasarkan di kisaran angka Rp 9.300 per kilogram (kg) untuk minyak sawit mentah (CPO) dan Rp 10.300 per kg untuk olein. Kebijakan yang sama juga masih diterapkan untuk pemasaran minyak goreng. Misalnya, untuk saat ini Kementerian Perdagangan masih mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng, yakni Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Pandemi kejar-kejaran minyak goreng saat ini tidak lain adalah buah dari normalisasi kehidupan manusia untuk saat ini. Ketika proyek-proyek infrastruktur mulai berjalan kembali dan pandemi Covid-19 mulai menurun, jumlah kebutuhan manusia mulai meningkat kembali. Perpindahan barang antarnegara juga memicu naiknya permintaan akan bahan baku dan daya butuh-beli masyarakat.
Ketika jumlah permintaan (demand) pasar meningkat, jumlah penawaran (supply) justru tidak stabil. Ketidaksiapan kegiatan produksi karena dininabobo pandemi Covid-19, justru memukul daya hentak para pelaku usaha. Aktivitas masayarakat yang mulai normal dengan mobilitas warga yang tak dipasung, kini menimbulkan lonjakan permintaan di pasar. Frekuensi kebutuhan pun pelan-pelan menanjak. Di sini lah letak ambiguitas pasar dalam mengelola ketersediaan dan keseimbangan pasokan kebutuhan.
Gejolak politik yang terjadi di kawasan Eropa Timur, antara Ukraina dan Rusia serta gejolak politik dalam negeri Kazakhstan ikut mengganggu suplai minyak global. Pertikaian yang terjadi di antara negara-negara yang terbilang potensial di laga minyak ini, justru membuat neraca keseimbangan harga minyak di Indonesia juga ikut terbentur.
Dua faktor ini (situasi politik global dan normalisasi kehidupan pasca pandemi) adalah pengganggu stamina kebutuhan manusia saat ini. Kerja sama yang baik, hemat saya mampu mengurai semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H