Data pribadi seharusnya menjadi perluasan jaminan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Jika data pribadi bocor dan digunakan untuk kepentingan yang tidak bertanggung jawab, saat itu juga hak dasariah Anda sedang dicabut dari kepemilikannya.
Data pribadi bukanlah brankas murahan yang bisa diperjualbelikan sesuaka hati. Publikasi data personal di dunia maya tanpa seizin pemilik data adalah tindakan melawan hukum. Saat ini, UU Perlindungan Data Pribadi masih diupayakan di DPR. Kendala perbedaan pendapat terkait lembaga badan pengawas perlindungan, sejatinya harus segera diakhiri.
Ranah digital saat ini memang rawan -- rawan kejahatan. Ketika sebagian kehidupan Anda dialihkan atau secara tidak sengaja bersentuhan dengan ruang digital, saat itu juga keamanan data pribadi Anda sudah terancam. Kejahatan di dunia digital memang tak memandang kata toleransi. Semua dilibas habis. Anda kecolongan, Anda tak lagi tertolong.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pernah melaporkan bahwa ada lebih dari 888,7 juta serangan siber terjadi pada Januari hingga Agustus 2021. Angka ini bukanlah sebuah penjumlahan yang detail. Artinya, masih banyak lagi kasus-kasus kecil yang belum terakomodasi ruang peningkatan operasi keamanan data. Bahkan, hingga akhir 2021 kemarin, jumlah kasus kejahatan di dunia digital mencapai angka 1,6 miliar.
Menurut data Litbang Kompas 25-29 Januari 2022, ada begitu banyak jenis kelalain pribadi yang menjadi peluang rubuhnya brankas keamanan data pribadi seseorang. Ketidakhati-hatian di ruang digital membuat privasi seseorang dijadikan bahan baku komersial. Data pribadi juga bisa dijadikan sebagai alat pemerasan yang mendatangkan profit bagi sekelompok orang.
Pengecekan keamanan pada aplikasi yang di handphone misalkan, sebagian besar disepelekan oleh banyak orang. Dari data yang dikumpulkan tim Litbang Kompas, ada 59,0 persen warga yang mengaku tidak pernah sama sekali mengecek data yang ada di handphone. Hanya ada 13,4 persen responden yang melakukan pengecekan secara berkala atas keamanan data yang ada di handphone. Sisanya, 23,3 persen responden hanya melakukan pengecekan sesekali (Kompas, 7/2/2022).
Maraknya pencurian data di ruang digital membuat publik was-was tuk terjun ke ruang digital. Di ruang digital, jarak antara kejahatan dan peradaban sangatlah sempit. Pelaku kejahatan biasanya memanfaatkan data pribadi sebagai kekuatan untuk memeras dan marketing. Kejahatan siber yang berakar dari pencurian data, pernah dialami 17,4 persen responden yang didata. Mereka mengaku, motif penipuan berujung pada tindakan pemerasan, penghakiman, dan ancaman.
Terkait maraknya kejahatan di ruang digital ini, publik berharap, pemerintah bisa membuat langkah-langkah konkret untuk mengamankan ruang digital. Ada beberapa prospek yang diharapkan publik antara lain: penerapan sanksi tegas bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang tidak bertanggung jawab, proses selektif kepegawaian yang kredibel, serta pembenahan infastruktur hukum yang jelas -- perampungan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Umumnya, sindikat data pribadi tidak pernah memikirkan bagaimana pemilik data menjaga data pribadi. Data pribadi di tangan vendor atau oknum tertentu kemudian dijadikan kekuatan untuk meneror dan memeras. Banyak platform online menggunakan data pribadi ini untuk mengunci ruang gerak pemilik data. Ruang-ruang administratif, seperti Bank atau ruang akses privat lainnya kadang bekerja dengan vendor tertentu untuk membobol privasi seseorang. Keuntungannya pun berlibat ganda.
Untuk itu, diharapkan agar para user digital tidak boleh menggunakan aplikasi yang berdampak pada kerentanan sistem. Pengguna juga wajib meneliti relevansi izin akses yang diminta oleh sebuah aplikasi. Jika izin akses tak terlalu penting, pengguna bisa mengabaikannya untuk kepentingan rahasia data pribadi.