Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Holocaust dan Sketsa Birokrasi Modern

Diperbarui: 4 Januari 2022   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi museum holocaust. Sumber: https://travel.tempo.co.

Peristiwa holocaust yang berlangsung pada abad 20 merupakan tragedi historis kemanusiaan. Kamp-kamp konsentrasi yang dibangun Hitler, Polpot, dan para diktator menjadi pabrik pemusnahan manusia. Setelah tragedi irasional tersebut terjadi, manusia menjadi ragu dengan optimisme kaum positivis bahwa semboyan "order and progress" dapat menciptakan peradaban yang lebih manusiawi.

Auguste Comte (1798-1857) menyatakan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia baik secara personal maupun kolektif. Pertama, paradigma teologis. Dalam tahap teologis, pikiran manusia mencari hakikat segala sesuatu, penyebab pertama dan akhir. Masyarakat yang berpola pikir teologis menafsirkan realitas sosial dengan mengikutsertakan persona atau kekuatan yang berada di luar batas kemampuan manusia. 

Kedua, paradigma metafisis. Pada fase peralihan ini, masyarakat cenderung menyakini hal-hal abstrak, tetapi tidak memuat unsur adikodrati, seperti konsep kedaulatan rakyat. Ketiga, paradigma positivisme. Dalam fase terakhir atau tahap kematangan pola pikir ini, masyarakat percaya pada kemampuan rasional manusia untuk menata dunia dan menciptakan peradaban yang lebih teratur dan maju. Tatanan dan kemajuan peradaban manusia dijalankan dengan menggunakan teknologi dan birokrasi sebagai instrument utama.

Menurut Zygmunt Bauman, paradigma modern adalah holocaust.  Holocaust direncanakan secara kompleks dan dilaksanakan dengan maksud tertentu secara birokratis. Pelaku holocaust menggunakan birokrasi sebagai salah satu alat utama mereka. Alih-alih memandang holocaust sebagai peristiwa abnormal dalam sejarah manusia, dalam perspektif rasional modern, menurut Zygmunt Bauman, holocaust merupakan hal yang "normal".

Normal di sini tidak berarti lazim tetapi bahwa sepenuhnya sesuai dengan perencanaan, semangat yang menuntunnya, prioritasnya, dan visi imanennya tentang kehidupan.  Dengan demikian, holocaust bukanlah kegagalan paradigma modern tetapi produk modernitas.

Holocaust berlangsung dengan semangat birokrasi yang menggunakan prinsip industrialisasi, pabrik, dan Kapitalisme. Zygmunt Bauman menulis: "Auschwitz adalah juga sebuah perluasan biasa dari sistem pabrik modern. Produknya bukan barang tetapi kematian dengan bahan baku manusia. Banyak unit kerja setiap hari yang merencanakan secara hati-hati kuantitas produksi.

Cerobong asap, yang melambangkan sistem pabrik modern, terus mengeluarkan asap berbau tajam hasil pembakaran daging manusia dalam oven-oven. Untuk mengangkut bahan baku (manusia), pemerintah Nazi membangun jalur kereta api di seluruh daratan Eropa. Pengangkutan bahan baku pabrik holocaust tidak berbeda dengan distribusi produk-produk barang biasa.

Di pabrik, para insinyur merencanakan pembakaran mayat, para dokter mengadakan penelitian medis menggunakan manusia-manusia tersebut, dan para manajer merencanakan sistem birokrasi yang berfungsi secara teratur, subtil, dan efisien."

Dalam hal ini Nazi berhasil menggabungkan rasionalitas industri dan rasionalitas birokrasi yang kemudian digunakan untuk menghancurkan manusia. Modernitas dengan sistem rasionalnya merupakan kondisi yang diperlukan bagi holocaust.  Tanpa modernitas dan rasionalitas, holocaust tidak mungkin terjadi.

Rasionalitas instrumental yang birokratis merupakan prasyarat modernitas yang solid. Birokrasi dijalankan secara teratur dan efisien sehingga hasilnya bisa diprediksi. Semangat prediktabilitas dalam modernitas yang solid diperankan oleh teknologi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline