Rabu, 18 September 2019
Hari ini saya bertugas di ruang Intensive Coronary Care Unit (ICCU) -- unit perawatan khusus untuk penyakit jantung. Tanggung jawab yang lebih berat dan sungguh menyita waktu-tenaga. Waktu shiff berlangsung cukup padat, yakni pagi dari pukul 07.00 -- 14.00 lalu dilanjutkan dengan shiff malam dari pukul 20.00 -- pukul 08.00 pagi.
Sungguh berat, karena harus melek seharian menemani pasien dan perawat, terus malamnya juga demikian. Saya membagi waktu agar saya bisa mengunjungi tempat lain yang kebetulan berdekatan, yakni ruang Intermediate Care (IMC) -- ruang peralihan untuk pasien dari ICU dan ruang Intensive Care Unit (ICU) -- ruang khusus untuk pasien kritis. Pada pagi hari hingga siang, saya hanya mengunjungi pasien yang ada di ruang ICCU dan IMC, sedangkan pada malam hari hingga pagi saya mengunjungi pasien di tiga tempat sekaligus, yakni pasien di ruang ICU, ICCU, dan IMC. Di sana saya ditemani oleh beberapa perawat, yakni Mbak Keling, Mbak Vika, Mbak Novi, Mbak Rumi, dan Bu Ani. Pasien yang saya kunjung antara lain Pak Agus Joko Wibowo (Turi), Sr. Rosalima Jeanne, CB, dan Mas Suratmo.
Di ketiga ruang ini -- ICCU, IMC, dan ICU -- saya benar-benar merasa jenuh dan useless. Perasaan ini muncul ketika selama dua jam saya hanya menjadi penonton dan tak bersuara sedikit pun. Ketika tiba di ruang IMC dan ICCU, saya disambut hangat oleh para perawat yang tengah bertugas. Saya menatap keliling. Semua pasien dipasang berbagai macam aksesoris -- selang di hidung dan mulut, tangan diikat, selang di tangan, dll.
Apa yang bisa saya lakukan ketika para pasien tengah tak berdaya, lemas, dan kadang pasrah? Apakah saya mau menandingi upaya tim medis yang tengah bersusah-payah mempertahankan hidup si pasien? Apakah saya mau menunjukkan kekuatan saya berhadapan dengan selang infus, alat transfusi darah, pisspot, dan aneka macam alat medis yang dipasang pada tubuh si pasien? Saat itu, saya menyadari kekuatan dan kemampuan saya. Saya tidak paham dengan semua peralatan itu. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanyalah hadir, menemani, dan membantu tim medis.
Di ruang ICCU, saya mencoba bercerita dengan seorang pasien bernama Bpk Agus Joko Wibowo. Ia adalah seorang pasien Muslim asal Turi. Saya sangat merasa tersentuh ketika ada pasien yang justru mau berbagi cerita di ruang-ruang kritis ini. Pembicaraan berlangsung lama. Saya menangkap bahwa pasien merasa kesepian -- karena di ruang ICCU, para pasien tidak boleh dikunjung dan hanya ada waktu khusus untuk kunjungan.
Hal ini membuat para pasien (terutama Bpk Joko) merasa senang untuk sharing. Ia bercerita soal kerja, keluarga, proses pemulihan kesehatan dan kesan soal RS Panti Rapih. Baginya RS Panti Rapih adalah RS yang paling bersih dan memiliki pelayanan yang baik. Ia justru merasa beruntung bisa mendapat kesempatan berobat di sana. Untuk prospek kesembuhan, Bpk Joko mempercayakan semuanya kepada para perawat yang menangani. Selain Bpk Joko, saya juga berkesempatan menemani Sr. Rosalima, CB. Beliau juga mengalami kondisi yang cukup mengenaskan karena beberapa kali berontak.
Pada saat shiff malam, saya justru hanya hadir menemani para pasien dan perawat. Saya diminta para perawat untuk memantau pergerakan alat monitor pernapasan. Hingga pagi jam 08.00 saya tidak istirahat karena dibebani tanggung jawab yang sangat berat, yakni menemani orang yang berada dalam situasi terminal. Menyaksikan begitu banyak alat yang dipasang pada tubuh pasien, saya akhirnya berpikir bahwa harapan memang ada. Harapan menjadi kenyataan jika kita berusaha -- sesuatu yang sangat sulit dilakukan oleh si pasien ketika berada dalam keadaan kritis dan ditangani secara serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H