Seperti sebuah perangkat, relasi kami hampir penuh. Notifikasi kian hari kian menunjukkan perangkat relasi yang tak berjalan karena memori hampir penuh. Ada keinginan, ada kemauan, ada harapan, ada suka, dan ada pula sakit hati. Semuanya bercampur hingga perangkat relasi tak lagi aktif bekerja secara sempurna.
"Aku mau kamu serius!" katanya.
Itu tangkapan layar dari resonansi komunikasi internal kami kemarin. Keseriusan menjadi tema besar dalam sepekan ini. Aku sendiri tak membayangkan sesuatu yang muluk-muluk dari relasi kami. Tapi, apa daya, waktu belum mengizinkan dan kami masih tetap di wilayah "keegoisan" masing-masing.
"Jadi, gimana sebaiknya? Apakah aku harus secepatnya memutuskan meski aku belum sepenuhnya membuat "berkas-berkas" keputusan itu dalam catatan tertulis?" begitu aku menyela kegamangan komunikasi kami.
Ribut-ribut di lokasi nir-temu yang pasti tak pernah menyentuh nyata biasanya hal biasa. Tapi, kali ini rujukannya melebar. Seputar keseriusan, keputusan, keuangan, tempat, juga kerja. Bagaimana mungkin kami bisa keluar dari bentrokan relasi semacam ini? Spasi yang dikelola jarak tak menentu membuat sarang kesabaran berubah ciut. Tak ada lagi pembatas antara aku, kita, dan kita di kemudian hari.
Aku menutup percakapan tanpa memberi notifikasi camilan. Biasanya, di akhir perbincangan, selalu ada ketukan-ketukan jempol yang ikut terkirim sebagai opium. Kali ini, rupanya tidak. Sebenarnya, tidak untuk sebuah pertikaian yang tak ada kata akhir dan kejelasannya. Kami pun dibuat tak bersuara. Inilah kali kesekian, relasi itu dipagu protokol.
"Kenapa diem?" sergahnya seketika.
Aku memilih bungkam untuk sebuah waktu permenungan. Jarang kami punya waktu untuk menarik diri dari celetak-celetuk di media sosial. Jika tak ada tingkah konyol untuk waktu perbincangan sesaat, ujung-ujungnya, kami pasti terlibat bentrok verbal. Memang tak terlalu lama. Meski tak lama, namun getarannya bisa seminggu.
Selama iklim diam itu dipelihara untuk waktu yang tanpa batas, kami akhirnya jenuh. Dan, jenuh sebetulnya menjadi ruang penyadaran yang berhasil memikat masing-masing imajinasi. Sehabis diam, terbitlah nuansa baru: kehangatan, keceriaan, kemesraan, dan mungkin juga kegembiraan. Di bale-bale ruang chatt, dialog pun dibuka kembali.
Inilah momen serba-serbi kami ketika pekan mulai berakhir. Jika Senin bagi sebagian orang adalah waktu lelah, bagi kami Senin justru menjadi lembaran baru. Di sana, protokol relasi itu dibangun dan dijaga untuk momen sepekan ke depan. Aku sendiri sangat menyukai momen-momen demikian. Lawan mainku belum tentu menyukainya. Kupaksakan agar dia juga terbiasa mengikutinya.
Dalam merajut relasi, hal yang mungkin tak bisa dilewatkan begitu saja adalah soal menyimak diam. Pasti ada momen demikian. Ada orang yang tiba-tiba diam karena tak mampu berspekulasi atau beradu argumen. Tapi, untuk kami, diam itu perlu diberi ruang dan waktu. Dari sana, kami menyimak diam.