Sebelum Konsili Vatikan II, kotbah dan homili hanya dilakukan oleh para imam atau mereka yang tertahbis -- kaum awam tidak diperkenankan untuk membawakan kotbah. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh berbagai norma dan aturan dalam institusi Gereja yang terlalu rigid; dimana Gereja hanya mengizinkan para imam yang membacakan Kitab Suci.
Teks Kitab Suci juga dibiarkan dalam kondisi aslinya, ditulis dan dibaca dalam bahasa Latin. Beberapa tokoh Gereja, seperti Paus Leo Agung dan Hironimus bahkan melarang dengan keras mereka yang tidak terthabis untuk berkotbah -- meskipun mereka adalah para religius yang sangat mampu. Kekakuan semacam ini akhirnya membuat banyak umat Katolik "memberontak." Umat menjadi pasif, ekaristi menjadi sangat membosankan serta berbagai keluhan bernada transformatif meluap.
Karena desakan umat dan kurangnya pelayan dalam Gereja, maka pada Abad Pertengahan -- terutama pada zaman Skolastik -- muncullah berbagai model kotbah, diantaranya kotbah tematis dan kotbah populer.
Visi Gereja yang membuka jendela-jendela Vatikan, pada akhirnya memberi kesempatan kepada siapa saja -- tidak hanya imam atau mereka yang tertahbis -- untuk berkotbah.
Akan tetapi, tidak semua isi dan penyampaian kotbah selalu menarik. Fenomena umat mengantuk bahkan tertidur pulas saat kotbah adalah suatu bentuk evaluasi yang wajib diperbaiki dan dikritisi oleh seorang pengkotbah. Apakah kotbahnya tidak menarik, tidak tersampaikan, membosankan, bertele-tele, hampa, adalah litani evaluatif prospektif para pengkotbah.
Fenomena Kotbah
Fenomena janggal berkaitan dengan kotbah di zaman sekarang adalah sesuatu yang sangat mencoreng masa keemasan Gereja Katolik -- terutama ketika berhadapan dengan rivalnya Gereja Reformasi.
Komparasi model kotbah kedua Gereja ini sangat mendalam. Dalam Gereja Katolik, ekaristi menjadi pusat kegiatan liturgi; sedangkan dalam Gereja Reformasi, Sabda Allah menjadi pusat perayaan.
Karena dua perbedaan ini, maka klaim-klaim tertentu yang muncul dapat dengan mudah dievaluasi. Pemisahan antara altar (ekaristi) dan mimbar (Sabda Allah) dalam Gereja Katolik memberikan penjelasan gamblang tentang porsi keduanya dalam liturgi Gereja.
Hal ini tidak berarti bahwa Sabda Allah mendapat perhatian sedikit daripada korban Kristus dalam liturgi Ekaristi. Walaupun dipisahkan dari liturgi Ekaristi, Sabda Allah tetap menjadi central dan makanan rohani orang Katolik.
Banyak orang -- terutama umat Katolik -- merasa terpuaskan (baca: dikenyangkan) seusai merayakan Ekaristi pada hari Minggu jika kotbahnya menarik. Intensnya kotbah sangat memengaruhi intensitas jumlah umat yang hadir untuk merayakan Ekaristi.