Tak terlalu jauh dari malam. Di antara kenangan dan kesadaran. Bukan cuman satu atau dua kali. Seringkali, tapi tak pernah usai. Ya, malam. Sabtu malam di antara bait yang hangat itu: "Karena Kucinta Kau!"
Bunga Citra Lestari (BCL), beberapa kali mengulang kata-kata ini: "Jika ada yang bilang." Namun, di akhir semuanya, ia memberi pesan yang anggun: "Tuhan yang tahu Kucinta Kau!" Di antara berkas-berkas kata yang semilir dalam ingatan, hanya Tuhan yang tahu. Meski jala asmara kita koyak karena "ada yang bilang," tetap yakin, Tuhan yang tahu.
Larik-larik bahasa yang menjelma menjadi lirik, sejatinya direkatkan agar lugas dilantangkan. Kita seringkali terbenam, lalu tidur dalam nyali yang dibungkus mimpi-mimpi. Kita tak pernah lepas dari kata mimpi, meski mimpi membuat kita bosan. Kamu selalu bilang: "Halu. Kamu suka halu!" Aku yakin halu itu membentuk haluan, jika diulang terus-menerus. Dan, tolong, jangan tanyakan: "Kira-kira, sampai kapan?"
Malam yang satu pergi dengan nada cemburu. Malam berikutnya, datang dengan langgam yang ciut. Kita tetap sama. Kita mengisi malam dengan sapa. Walau sebentar, ya sebentar akur, rubuh, dan kembali merawat subur. Apakah malam kali ini menceritakan kita? Ataukah kita bisu menatap malam? Kamu yang harus lebih dulu memulai. Jangan sungkan tuk memulai, karena malam tak pernah betah dengan kita dan asmara.
Di kampung "Ngombe," kita kadang menghabiskan waktu dengan tanya. Tak jauh dari tanya, jawaban selalu berebut batin 'tuk saling meyakinkan. Meski berdua, malam selalu memberi warna agar isi hati kita menghidangkan kata jujur. Dari mata, aku memulai pembicaraan. Menatap sebetulnya perlu energi, biar isi hati dibawa pergi kata-kata yang sesungguhnya.
Jujur, malam ini aku lebih rentan dipeluk hangat. Aku tak tau, kapan ini bisa pergi. Aku tak tau, kapan pasti malam membenamkan mimpi-mimpi kita agar jadi kenyataan. Tapi, aku tahu pasti, kamu mengingat semuanya. Kamu merawat semuanya. Kamu merawat kenangan dengan baik meski belum sempurna menjadi kenyataan. Aku harap, kamu tidak larut sama kata-kata mereka. Jangan teruskan frasa "Jika ada yang bilang" nyenyak dalam ingatan.
Kamu tahu, kenapa mimpi-mimpi kita habis digenang malam? Kamu tahu, kenapa malam-malam kita dibujuk mimpi? Kita sebetulnya berangkat dari kisah yang diberi latar malam. Kita memulainya dari kedai di pojok kota yang meronta-ronta dilukai asmara itu. Kamu datang dengan wajah polos dan pikiran basah kuyub diguyur kalimat pertama untuk menyapa. Tak asing dalam ingatan, tak lekang oleh kejaran waktu. Maaf, aku sedikit menarik kamu ke belakang: di antara kita, ingatan, dan waktu.
Dari malam kisah pertama di pojok kota berlaksa rindu dan kenangan itu, kita mulai menyeruput masa depan. Satu per satu berubah menjadi kata, sajak, cerita bersambung, dan catatan panjang. Semuanya kurajut, kusimpan, dan tak kupilah ke seberang. Aku menyimpan semuanya, meski ada yang bilang: "Itu masa lalu." Aku memang berfikir, itu soal masa lalu. Tapi, untuk sebuah kisah asmara yang panjang, aku justru diingatkan 'tuk selalu menyapa. Untuk masa lalu, aku selalu suka tuk menceritakannya dari saat ini.
Sabtu untuk mimpi-mimpi malam kita tidak pernah selesai. Jika Tuhan yang tahu, Ia juga pasti mengizinkannya. Jika Tuhan yang tahu, kita pasti halu. Dan, jika Tuhan yang tahu, orang-orang mungkin tak mau tahu tentang kita. Itu pasti. Jika ada yang bilang, katakanlah: "Kami hampir sempurna!" Itu sudah cukup untuk mereka. Itu sudah cukup untuk membuat mimpi-mimpi kita jadi kenyataan. Kita dan mimpi-mimpi kita adalah masa depan. Jadi, jangan sungkan tuk membuatnya jadi nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H