Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Spiritualitas Gereja Timur Terkait Pengenalan Diri dan Kebebasan

Diperbarui: 2 September 2021   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pemimpin Gereja Katolik dan Timur. Foto:https://www.indonesianpapist.com/. 

Sebagai pribadi yang integral (roh, jiwa, dan tubuh), manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Akan tetapi, apa artinya pengenalan diri (self knowledge)? Menurut Philo, pengenalan diri bersifat moral, titik pangkal untuk sampai pada kesempurnaan intelek yang menuntun dunia.

Menurut Origenes, pengenalan diri adalah pengetahuan yang objeknya adalah keutamaan dan karakter, bukan terutama mengetahui substansi jiwa. Mengenal diri dengan demikian berarti mengetahui secara lebih baik kemampuan dan kekuatan seseorang untuk bertumbuh dalam kebaikan dan kebijaksanaan.

Pengenalan diri juga terkait dengan pengetahuan tentang relasi dengan Allah, entah dalam melihat asal-usul manusia, situasi konkretnya, atau hubungannya dengan dunia. Pengetahuan seperti itu, menurut Basilius akan mengantar orang kepada "the memory of God." Pemahaman tentang diri dalam hubungannya dengan Allah menampakkan dimensi misteri manusia.

Lossky berpendapat bahwa pembicaraan tentang pribadi manusia melampaui level ontologis. Pemahaman tentang manusia harus ditempatkan pada level meta-ontologis, dan hanya Allah yang mengetahuinya. Senada dengan itu, Paul Evdokimov menegaskan bahwa struktur "deiform" membuat setiap solusi otonom terhadap martabat manusia menjadi tidak mungkin."

Melalui pemahaman seperti ini, Gereja Timur hendak menegaskan bahwa pengenalan diri yang sejati adalah pengetahuan tentang kedudukan manusia di hadapan Allah. Dengan memahami siapa dirinya di hadapan Allah, manusia dapat menarik implikasi moral bagi hidupnya. Implikasi moral-praktis ini, dalam pemahaman Gereja Timur, tidak lain adalah bahwa manusia harus memupuk atau menghidupi kerendahan hati, yang oleh Gregorius dari Nisa disebut "a descent toward the heighst."

Kerendahan hati dalam tradisi biblis dipahami sebagai pengalaman penderitaan manusia di tengah masyarakat yang tidak bersahabat, dan di tengah kemiskinan yang perlahan-lahan menjadi tantangan moral, religius, dan eskatologi. Dalam Perjanjian Baru, kerendahan hati terutama berarti 'kemiskinan dalam roh.'

Para Bapa Gereja memandang Kristus sebagai model atau contoh kerendahan hati. Kerendahan hati bagi para penulis Rusia adalah "kebajikan meniru Kristus" dan beberapa teks lain menyebutnya sebagai induk, akar, dasar, dan pusat segala kebajikan. Kerendahan hati dalam pandangan Gereja Timur, terutama berarti pengenalan diri, suatu pengakuan akan batas-batas kelemahan manusia. Ia mengimbangi dorongan manusia untuk menghakimi dan menguasai orang lain. Kebajikan ini mencegah manusia bermegah atas dirinya sendiri selain dalam karunia Allah. Singkatnya, kerendahan hati adalah keterbukaan terhadap karya dan kehendak Allah sekaligus pengakuan atas keterbatasan manusia di hadapan-Nya.

Kebebasan

Dalam filsafat Yunani, kebebasan terutama berarti 'kebebasan untuk memilih' yang terwujud pertama-tama dalam relasi sosial dan publik seseorang, yang kemudian dalam antropologi Stoa menjadi "autarkeia" atau kecukupan-diri, suatu kebebasan batiniah untuk menentukan diri. Para Bapa Gereja mamandang kebebasan manusia sebagai relasi konkret antara manusia dan Allah. Kehendak bebas dipahami sebagai tanggung jawab bebas manusia terhadap panggilan Allah.

Sejak Klemens dari Aleksandria, hubungan antara kebebasan dan pengetahuan sudah didiskusikan. Bagi Klemens, kehendak lebih tinggi dari apapun, intelek diciptakan untuk melayani kehendak. Oleh karena itu, tidak ada kebajikan tanpa kebebasan, dan dalam pemikiran Timur, mencapai kebenaran tanpa mempraktikkan keutamaan adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Kekhasan pandangan Gereja Timur tentang kebebasan manusia ini adalah referensinya terhadap persoalan kebenaran dan kehidupan ilahi. Gregorius dari Nisa mengatakan: "Freedom is resemblance to the One who is without master (adespotos) and is self-governed (autokrates), a resemblance which we were granted by God at the beginning. It is through freedom, then, that man is deified and blessed. True freedom is therefore a spiritual characteristic, a gift of the Holy Spirit."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline