Remisi itu hak setiap narapidana. Koruptor adalah narapidana. Maka, koruptor berhak mendapat remisi. Jangan bacot soal korting masa tahanan (remisi). Hukum mengatur Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Lalu, bagaimana dengan rasa keadilan. Hukum selalu berbicara tanpa rasa.
Belum menyentuh Desember, pesta diskon besar-besaran sudah digelar. Pesta diskon, biasanya muncul di akhir tahun -- menjelang Natal dan Tahun Baru. Ketika iklan diskon dan promo diobral, banyak konsumen berlomba-lomba mendatangi gerai belanja. Diskon itu soal kesempatan dan takaran kualitas. Itu kalau kita bicara soal produk.
Pada Sabtu (21/8/2021), Harian Kompas kolom Politik dan Hukum menurunkan berita dengan tajuk "Pemberantasan Korupsi Kian Suram." Tajuk ini diangkat kala pemberian remisi bagi 214 koruptor dipublikasikan pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekan Indonesia yang ke-76.
Pemberian remisi bagi 214 koruptor ini dinilai mengusik rasa keadilan dan menggoncang semangat komunal dalam menuntaskan kasus korupsi.
Selama masa pandemi Covid-19, intensitas pelaku korupsi dinilai meningkat. Banyak pejabat negara beramai-ramai masuk dalam pusaran korupsi tanpa merasa takut dan malu. Inilah watak dari era kemerosatan.
Mereka berbuat, tapi sungkan bertanggung jawab. Mereka berani melakukan, karena tak lagi memalukan. Meski ditahan dengan label koruptor, ada saatnya masa korting menyelematkan mereka.
Pemberian remisi bagi 214 tahanan adalah sebuah even "black Friday" bagi para tahanan. Akan tetapi, remisi ini diberikan dengan syarat tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan ini memberi kesempatan kepada setiap narapidana yang sudah menjalani satu pertiga masa pidana. Akan tetapi, pertanyaannya apakah kriteria lain tidak bisa dipertimbangkan ketika berhadapan dengan poin regulasi terkait masa pidana?
Dalam barisan 214 pidana yang mendaapat remisi pada peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia yang ke-76, muncul nama Joko Soegiarto Tjandra. Joko Tjandra adalah narapidana kasus korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang kabur selama 11 tahun dari Indonesia.
Ia pernah dijerat beberapa kasus dengan akumulasi hukuman yang memberatkan. Joko Tjandra, dalam hal ini, tidak hanya diamankan karena kasus korupsi, tetapi juga karena beragam tindak pidana lainnya.
Joko Tjandra sebetulnya belum bisa diberikan remisi terkait bongkahan kasus yang menjeratnya. Ia sebetulnya tak hanya terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali, tetapi juga soal kasus pelariannya ke luar negeri dan pemalsuan identitas.