"Tuhan, kepada siapa kami akan pergi?" Kata-kata disampaikan oleh keduabelas rasul ketika fondasi iman mereka digugat. Bagi Yesus, iman yang kokoh lagi kuat tidak bisa diukur dengan kepengikutan semata. Di balik formasi kepengikutan, ada credo yang terus-menerus diperbarui. Jika tak kuat, perlulah sesekali digugat dengan pertanyaan.
Kenapa perlu digugat? Formasi kepengikutan para murid sebetulnya adalah sebuah testimoni bagi sebuah karya misi. Ketika Yesus memilih para pengikut-Nya, Ia selalu membuat kelas evaluasi. Kelas evaluasi ini dibuat untuk memastikan ritme formasi yang sama ketika kelak Ia meninggalkan komunitas keduabelas rasul. Hal ini memang berat untuk dipakai sebagai sebuah keyakinan, karena para rasul berasumsi bahwa Yesus kelak menjadi Raja bagi bani Israel.
Konsep "Jesus is the King" bukanlah hal baru yang dimimpikan orang-orang Israel. Konsep "Jesus is the King" bahkan dialirkan dari mulut ke mulut di lingkup budaya juga internal komunitas para murid. Targetnya lumrah: Jika Yesus menjadi Raja, maka para rasul akan kebagian kursi kekuasaan. Inilah yang dimimpikan dan bahkan diyakini oleh setiap anggota komunitas. Maka, ketika Yesus meyakini mereka dengan perkataan sebaliknya, beberapa murid menarik diri pelan-pelan.
Dari sini, kita memahami secara berlahan watak kepemimpinan Yesus: Ia datang, bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Tuntutan yang sama pun berlaku bagi komunitas para rasul.
Kepemimpinan Yesus, dalam hal ini, tidak melulu mengejar satu target yang kebanyakan digoogling para pemimpin duniawi, seperti popularitas, kekuasaan, dan harta. Yesus justru memberi slide khusus tentang kepemimpinan, yakni membebaskan diri dari tiga target manusiawi: popularitas, kekuasaan, dan harta.
Kenapa tiga hal ini justru dilepaskan dari orbit kepemimpinan? Tiga hal ini, pada dasarnya membuat titik fokus pelayanan seorang pemimpin terabaikan. Popularitas seringkali membuat para pemimpin tuli dan buta. Karena popularitas, seorang pemimpin akhirnya bekerja di atas awan-awan. Ia bangga karena ketenarannya, sementara orang-orang yang dilayani tak tersentuh sapa dan uluran tangan.
Kekuasaan juga menciptakan hal yang sama. Dengan kursi katedra, seorang pemimpin bisa berbuat apa saja, melalui apa saja, dan untuk kemakmuran dirinya sendiri dan koleganya. Sedangkan, harta, suda pasti membunuh kelima indera. Harta kadang menurunkan stamina rasa solidaritas dan kemanusiaan. Kenapa demikian? Sudah pasti ingatan dan perhatian kita selalu tertuju pada jumlah, kualitas, dan kelanggengan jenis harta tersebut.
Jika ditelisik lebih mendalam, kita bisa memahami bahwa Yesus sama sekali tak menyukai apa yang disukai para pengikut-Nya. Yesus tak mau berlama-lama membahas tema yang sebetulnya dikejar komunitas para murid secara sembunyi-sembunyi (hidden agenda).
Untuk itu, bagi Yesus, menggugat fondasi iman dan kepengikutan para murid mejadi charger yang baik untuk masa depan. Yesus menampar dinding formasi iman para murid dengan kalimat, yang hemat saya sangat menyentuh: "Apakah kalian tidak mau pergi juga?"
Dalam hidup harian kita, intrik-intrik serupa juga seringkali terjadi. Seseorang masuk dalam kelompok tertentu -- secara agamis, misalnya -- hanya untuk mengejar target tertentu.
Ketika target ini benar-benar dikejar dan tak berhasil, maka fondasinya pun tidak bertahan lama. Ketika targetnya tak tercapai atau tak sesuai ekspektasinya, maka pelan-pelan ia akan menarik diri. Untuk itu, fondasi iman yang kokoh seharusnya diperbarui melalui pengakuan iman (credo) setiap saat. Itulah yang dibuat Gereja selama berabad-abad.