Adanya instansi agama sering dituduh sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum feminis akibat dualisme cara berpikir yang diterapkan. Kaum feminis sering dilihat sebagai objek pelampiasan libido. Mereka hanyalah sarana pemuas kebutuhan kaum maskulin. Dengan kata lain, perempuan adalah korban pemerkosaan dan pengkhianatan.
Hal ini nyata, ketika beberapa tahun lalu (11/1/2018), terjadi pelecehan seksual di Jalan Kuningan Datuk, Beji, Depok. Perbuatan tidak pantas ini terekam kamera CCTV dan videonya viral di media sosial.
Dalam video itu, tampak seorang wanita berkerudung menjadi korbannya. Selain itu, kasus serupa juga terjadi di Jatinegara. Polisi berhasil menangkap pelaku kekerasan seksual yang terekam kamera CCTV di Jatinegara, Jakarta Timur. Tersangka, Rifki melakukan aksi ini pada Selasa, 6 Februari 2018.
Saat ini para perempuan dan anak marak menjadi target penculikan. Para pelaku kejahatan melakukan aksi ini dengan modus melucuti hartanya. Selain itu, perempuan juga menjadi korban kekerasan seks khususnya buruh migran.
Data yang dimiliki Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, dari 274 kasus kekerasan yang dilaporkan tahun lalu (2017), 199 di antaranya merupakan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut 104 di antaranya merupakan kekerasan fisik dan 69 merupakan kekerasan psikis, 17 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus perkosaan.
Kasus-kasus diskriminasi juga menerjang anak-anak dan remaja. Di Surabaya, anak-anak menjadi korban eksploitasi seksual, kekerasan seksual, hingga trafficking. Eksploitasi ini seringkali terjadi dalam lingkungan pendidikan. Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dihimpun dari Polda Jawa Timur, 117 anak mengalami kekerasan seksual yang dilakukan 22 oknum guru.
Selain itu, di Bantul, salah seorang guru agama menjadi tersangka kasus percobaan pembunuhan terhadap seorang mahasiswi. Korban yang tengah hamil tujuh bulan dilempar ke sungai. Sebulan kemudian, masih dalam zona yang sama, seorang guru menghamili muridnya sendiri di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Giriloyo. Kasus-kasus ini bisa jadi fenomena gunung es. Artinya hanya satu dari sekian banyak kasus yang terungkap.
Selain diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak, kasus diskriminasi juga marak dialami oleh kaum LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender) di Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang tidak memihak kaum LGBT, misalnya pertama, Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat. Kedua, Perda Kota Palembang No. 2 tentang Pemberantasan Pelacuran.
Kedua Perda ini mengkategorikan kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran. Ketiga, Perda Kota Batam No.6 Tahun 2002. Peraturan ini mendiskriminasi perkumpulan atau organisasi dengan orientasi seksual yang berbeda. Keempat, Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Perda ini mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan informal yang dilakukan oleh kaum miskin termasuk kelompok LGBT. Dengan demikian, perda-perda ini secara tegas meniadakan hak-hak kelompok preferensi seksual LGBT untuk menentukan pilihan sikap seksualitasnya.
Lebih lanjut, agama dituduh sebagai biang keladi diskriminasi terhadap kaum LGBT. Agama dinilai menghambat dan membatasi ruang gerak kaum LGBT. Contoh, muncul di dalam organisasi tertentu bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling berat.
Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapat pembenaran dari masyarakat.