Realitas kehidupan kekal dipahami sebagai suatu "situasi" tanpa penderitaan -- orang terlepas dari berbagai penderitaan, orang disembuhkan, dll.
Akan tetapi, kehidupan kekal itu tidak harus menunggu hingga kematian tiba. Upaya mencapai kehidupan kekal seharusnya dimulai sekarang dan di sini. Lalu, bagaimana hal itu dapat dicapai?
Evagrius, doktor apatheia, mengatakan bahwa upaya melepaskan diri dari penderitaan harus dimulai dari keberanian untuk memberikan diri (self-giving). Dan, tindakan ini sudah dilakukan oleh Kristus.
Oleh karena itu, Evagrius mengatakan bahwa "Apatheia has a child called agape." Cinta yang tulus selalu ditunjukkan melalui pengorbanan diri (self-sacrifice).
Apatheia juga dapat dipahami dalam tiga hal berikut. Pertama, apatheia bukan berarti absennya penderitaan. Manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan.
Dalam dirinya, manusia selalu memiliki keinginan dan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Hal ini sangat berkaitan erat salah satu elemen pembentuk diri manusia, yakni tubuh.
Selain itu, kenikmatan adalah salah satu tantangan yang berkaitan dengan upaya menghindari penderitaan. Bahkan seseorang menderita karena tuntutan keinginan tubuh.
Kedua, apatheia bukan berarti hilangnya gairah bernalar. Seringkali orang menyalahkan pikiran ketika ia jatuh pada sesuatu yang mendera dirinya.
Evagrius mengatakan bahwa segala hal yang membuat seseorang menderita bergantung pada kemampuannya untuk menolak atau menerima tawaran; bukan melulu karena kurangnya pengetahuan. Orang pintar sekalipun bahkan mampu jatuh pada kenikmatan atau hal-hal yang membuat dirinya tersandera.
Ketiga, apatheia merupakan kekuatan yang muncul dari dalam diri seseorang untuk menolak penderitaan atau kecenderungan untuk jatuh pada hal-hal yang buruk.
Maka, peran hati di sini menjadi penting sebagai ruang dialog sebelum memutuskan sebuah tindakan. Perintah dari dalam hati -- hati sebagai tempat kediaman Allah -- membantu seseorang untuk membuat sebuah keputusan.