Loket pendaftaran sudah dibuka. Pria sederhana dan dua orang anaknya berdiri mendekati pintu loket. Mereka hendak mengurus administrasi tertentu. Mereka datang dari wilayah yang sangat jauh dari pusat kantor pemerintahan. Petugas dan pria itu sempat beradu mulut. Petugas pergi dengan memberi pesan: "Besok bisa datang lagi!" Selesai!
Kisah itu membuka jeruji batin kita. Sejauh mana kita menaruh belas kasihan terhadap sesama? Apakah kita mudah tergerak hati ketika melihat sesama saudara menderita atau ada dalam kesusahan? Ataukah kita menutup mata dan telinga untuk menyapa, membantu, dan memberi jalan keluar? Seberapa sering kita berkorban demi kebaikan sesama?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah batu uji dalam melihat ritme hidup harian kita di tengah sesama. Kadang, ketika capek, lelah, sibuk atau karena disita keegoisan pribadi, pertanyaan-pertanyaan di atas tak mudah dijawab. Kadang kita terlalu banyak mengeluh ketika gerakan hati mulai mendorong kita untuk berbuat sesuatu. Sebelum memulai, kita kerap berdalih. Bagaimana kita bisa tergerak hati jika kita seringkali berpaling dan menoleh?
Injil hari ini (Markus 6:30-34) memberi sebuah bentuk refleksi yang mendalam terkait kepekaan, keramahtamahan, dan belas kasih. Dalam kisah Injil diceritakan bahwa Yesus hendak menepi bersama para murid. Mereka ingin menarik diri dari keramain dan membuat evaluasi bersama. Mereka ingin menimba kekuatan baru setelah lelah memberi kesaksian, melakukan mujizat, dan menobatan orang. Karena alasan ini, Yesus pun berencana menyingkir ke tempat yang sunyi.
Ketika hendak menyingkir, Yesus tak pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak orang yang akan menerima Dia. Ketika mendarat, seperti yang dikisahkan Markus, Yesus melihat orang banyak menanti kedatangan-Nya. Ia pun merasa tergerak hati. Dalam hal ini, tanggung jawab sebagai gembala dilahirkan kembali berhadapan dengan domba yang tak bergembala. Apa yang bisa dipetik dari kisah Injil hari ini?
Pertama, menyekolahkan kepekaan. Jika dicermati secara mendalam, Yesus dan murid-murid-Nya berusaha menyingkir karena alasan komunio lokal-internal (di antara para murid dan Sang Guru). Akan tetapi, ketika berhadapan dengan situasi misi yang berbeda, Yesus justru lekas membuat penyesuaian. Ia merasa tergerak hati. Yesus tak serta-merta menoleh, memalingkan wajah, atau membalik arah perahu agar lari dari kerumunan orang banyak. Ia justru menaruh belas kasih.
Dalam hal ini, unsur kepekaan justru diajarkan dalam sekolah komunitas para murid. Jika ada orang yang memang membutuhkan, luangkan waktu untuk membantu. Kita bisa mengingat kisah Yesus memberi makan 5000 orang. Awalnya, jika kita cermati teks Injilnya, para murid secara tak langsung hendak mengusir orang banyak: "Guru, suruhlah mereka pulang agar mereka membeli makanan di kota!" Ketidakpekaan para murid, dalam hal ini, justru diterapi oleh Yesus sendiri: "Kamu harus memberi mereka makan!"
Kedua, kesaksian hidup. Menyingkir ke tempat yang sunyi adalah salah satu bentuk kode spiritual. Dalam hal ini, komunitas para murid tak hanya berkutat dengan pewartaan Sabda, tetapi juga harus diimbangi dengan stamina spiritual yang mapan. Untuk itu, Yesus melihat kebutuhan internal komunitas-Nya dan memilih menyingkir ke tempat yang sunyi. Di sana, mereka akan mengisi tabung kehidupan spiritual mereka dengan keintiman bersama Yesus, bertukar pikir, membuat rencana kegiatan berikutnya, dan mengevaluasi.
Kegiatan-kegiatan ini tentunya sangat penting untuk pemeliharaan kualitas kepengikutan para murid. Akan tetapi, bagaimana jika rencana-rencana demikian dihadapkan pada situasi-situasi misi yang sifatnya extraordinary seperti dalam kisah Injil?
Kepengikutan dan keintiman relasi dengan Tuhan harus dibarengi dengan kesaksian hidup yang baik. Kesibukan-kesibukan pribadi seharusnya dikesampingkan jika ada orang yang benar-benar membutuhkan kita. Di sinilah sekolah kepengikutan itu mendapat tempat -- melalui kesaksian hidup yang baik dan benar.
Selamat berhari Minggu!