Aku memarkir sepeda motor yang kukendarai tepat di sebelah Timur Loko Coffee, Jl. Ps. Kembang, Sosromenduran, Gedong Tengen, Jogja. Suasana masih lengang. Persis di belakang barisan barista, rel menahan laju kereta Stasiun Tugu. Terang hanya menyentuh halaman depan Loko Coffee. Lokasinya memang strategis. Loko Coffee kalau gak salah jadi pintu masuk kawasan Malioboro dari sisi Utara. Ya, setidaknya begitu.
Aku melempar perhatian ke sekujur spot coffee shop. Beberapa meja belum terisi sapa dan tamu. Di dalam kafe, umumnya ditempati oleh tamu-tamu yang datang bergerombolan. Asap tembakan mengapung di beranda coffee shop. Orang-orang seperti ngerumpi dan mau menghabiskan Sabtu malam dengan latar. Meski ngepul, tawa tak pernah dikejar pergi dan pagi. Beberapa pasangan muda terenyuh mengedip pandang. Sore seperti tak berpindah rasa. Meski malam mulai mengantuk, kopi dan ngobrol tetap akrab.
Sebetulnya, aku tak sendiri. Aku sedang dan tengah ditemani pesan singkat. Isinya biasa dan kadang basi: "On the way!" Pesan ini sudah kubaca lima belas menit yang lalu. Aku sengaja tak membalas. Aku tak mau melewati suasana Loko Coffee tanpa rasa, tanpa sebentar mengaduk, dan sesekali menarik asap. Beberapa musisi seperti mulai sibuk mengatur dering soundsytem. Memang, setiap malam Loko Coffee selalu memberi latar yang syahdu dan padu bagi setiap pengunjung.
"Hampir tiba! Kamu di mana?" layar HP mengetuk lamunan.
"Aku di pojok!" segera pesan pergi dengan dua centang.
Ruas jalan masuk kawasan Malioboro memang sering diretas pengunjung di Sabtu malam. Roda empat maupun roda dua dipacu jarak kurang sejengkal. Semua berburu tempat parkir. Semua mencari spot asmara. Meski sudah disediakan tempat parkir khusus di sebelah Utara, Komp. Ps. Kembang, masih banyak pengendara yang berusaha mangkal di sekitar kawasan Malioboro.
"Maaf, telat! Kamu pesan apa?" tanya Alleta sambil mengibas-ibas rambut.
"Mochaccino Latte."
"Itu doang? Gak nambah makanan?"
Aku cuman mengangkat bahu. Alleta memang suka ngopi sambil ngemil. Ia suka menghabiskan Sabtu malam dengan seruput dan ngobrol. Temanya beragam. Bisa seputar kerja, makanan, progres studi, dan jangan lupa soal tatapan ke depan. Ketika tema-tema ini diberi latar Sabtu malam dan berdua, kualitasnya pun ibarat disanjung rasa. Pada titik ini pun, aku paham bahwa kilas rasa itu butuh tempat, waktu, dan suasana.
Sabtu malam memang memberi rasa dan menyeka suasana. Sabtu malam butuh teman dan tempat. Keduanya mengikat memori untuk dibawa cerita saat semuanya telah usai. Pening sekujur pekan seperti dipintal hilang, saat Sabtu meminang ceria, tawa, ngopi, ngobrol, dan tebak-tebakkan. Sederhana, tapi menyatu. Sekilas, tapi membekas. Ya, seperti itulah Sabtu malam.