Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Mengasah Taring KPK

Diperbarui: 6 Mei 2021   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KPK tidak perlu izin Dewas dalam teknis penangan perkara. Foto: nasional.kompas.com.

Taring lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin diruncing. Tindakan "mengamputasi" intervensi Dewan Pengawas (Dewas) KPK melalui putusan MK adalah senjata berburu yang diharapkan mampu memperkuat maraton kinerja KPK. Dengan taring yang "tak dicadar" intervensi izin Dewas, KPK bisa lebih independen dan rapid dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) diharapkan mampu memperkuat kinerja KPK.

Uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 itu pada dasarnya menggarisbawahi poin terkait izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Poin ini, tertuang dalam Pasal 12B dan Pasal 37B huruf b UU KPK. Hal yang dipersoalkan dalam poin ini adalah terkait kewenangan Dewas yang menyisir hingga ke hal teknis penanganan perkara, yakni memberikan atau tidak memberikan izin. Bagaimana jika Dewas tidak memberikan izin?

Independensi 

Postur lembaga antirasuah (KPK) selama ini memang sedikit dicadari. Ruang gerak operasi lapangan terkait kasus-kasus korupsi di negeri ini pun terkesan lamban. Hal ini, dilatarbelakangi oleh intervensi kehadiran Dewas sebagai kamera pengintai KPK. 

Kehadiran Dewas tak membuat KPK sepenuhnya bermanuver. Setiap kali ingin melakukan tindakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, KPK pertama-tama harus melayangkan surat izin ke Dewas. Tindakan ini, secara teknis-operasional tentunya menyita langkah cepat KPK dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

Ketika UU KPK 2019 diaprobasi, banyak pengamat, ahli hukum dan termasuk anggota KPK sendiri yang menyayangkan konten UU. Poin yang disoroti adalah soal keberadaan Dewas yang mengkapling ruang gerak penanganan perkara. Izin kerja terkait tiga jenis kegiatan KPK (penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan) sesuai ketentuan hukum, akhirnya harus mendapat persetujuan resmi dari Dewas. Menurut Anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, kebijakan menunggu izin dari pihak Dewas akan memperlambat langkah KPK dalam melakukan penyadapan.

Putusan uji materi UU KPK, hemat Saya sejatinya mengembalikan independensi KPK. Karakter independensi ini tentunya harus dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Karakter ini dibangun melalui kerja sama yang solid antar-anggota dan pimpinan KPK. Kerja sama ini juga harus diperlihatkan melalui indeks kualitas kerja yang jujur dan merakyat. Karakter independensi tidak berarti KPK sama sekali berada di luar kontrol dan bekerja sesuai tajamnya taring.

Pengalaman dugaan suap terhadap penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju yang melibatkan Wali Kota Tanjung Balai sejatinya menjadi bahan evaluasi yang mendalam. Stepanus hanyalah salah satu dari profil kepincangan karakter internal formasi keanggotaan KPK. Dengan putusan MK yang melepas intervensi Dewas terhadap KPK, seyogiyanya mampu menyekolahkan lembaga natirasuah ini menjadi sebuah lembaga yang tetap independen dan kredibel.

Publik sebagai Dewas KPK

Terlepasnya sabuk pengaman Dewas KPK dari alur kerja KPK, tidak berarti KPK sama sekali lepas dari perhatian. Sebagai sebuah lembaga yang independen dan kredibel, KPK tetap dalam pantuaan dan status pengawasan langsung dari masyarakat. Sebagai pengganti Dewas, KPK akan diawasi secara langsung kinerjanya oleh semua warga negara. Tindakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan akan tetap dipantau, difollow up, dan diberi evaluasi secara berkala.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline