Ketika Yesus memasuki Kota Yerusalem, Ia disambut kerumunan. Ranting-ranting daun hijau dan pakaian diletakkan di jalan untuk mengiringi Raja Damai memasuki Yerusalem. Perjalanan memasuki Kota Yerusalem bukanlah perjalanan yang biasa-biasa saja. Memasuki Yerusalem merupakan pintu gerbang memasuki jalan salib, jalan penderitaan, sekaligus kebangkitan.
Bacaan Injil pada Hari Minggu Palma merupakan penanda bagi Gereja dalam memasuki Masa Pekan Suci. Dalam Minggu ini, penderitaan, sengsara, dan kematian menanti. Yesus memasuki Kota Yerusalem untuk menyelesaikan tugas, tanggung jawab, dan komitmen yang dipercayakan Bapa kepada-Nya. Penginjil Markus melukiskan bagaimana transformasi memasuki gerbang Yerusalem akan berujung kematian (Markus 14:1-15:47).
Saya sendiri merenungkan dua poin yang setidaknya bisa didalami lebih lanjut terkait Minggu Palma. Pertama, soal kerumunan. Dalam kisah Yesus memasuki Kota Yerusalem, diceritakan ada begitu banyak orang yang datang menyambut Yesus. Pandemi warga yang menyambut Yesus tentunya sangat dilatarbelakangi oleh pribadi Yesus, karya-karya, dan pewartaan-Nya. Ia sudah dikenal di mana-mana berkat mujizat-mujizat dan kesaksian-kesaksian-Nya yang benar. Oleh karena itu, ketika Ia memasuki Yerusalem sebagai pusat keagamaan dan ekonomi orang Yahudi saat itu, Yesus diarak dan disorak-sorai.
Teriakan sorak-sorai lahir dari kekuatan kerumunan di gerbang Yerusalem. Akan tetapi, seberapa besar komitmen sorak-sorai ini menentap dalam setiap pribadi? Di mana teriakan sorak-sorai ini ketika Yesus dihukum mati? Apakah seruan hosana Putra Daud hanya muncul karena alasan baper belaka atau memang karena setiap pribadi menyadari kehadiran Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup?
Di masa pandemi Covid-19 ini, kerumunan memang tidak terlalu disukai. Di mana ada kerumunan, di situ ada persekongkolan, maling, bahkan tawuran dan darah. Di balik kerumunan, biasanya kejahatan membayangi. Di tengah kerumunan, pasti Anda atau saya merasa tidak nyaman. Dari celah-celah kerumunan itu pula, teriakan "Salibkan Dia!" menggelegar. Inilah momen gersang suasana kerumun. Di dalam kerumunan, seseorang bisa saja baper untuk mengikuti suara-suara dominan. Di dalam kerumunan pula, suara-suara minor menuju Golgota sayup-sayup terdengar.
Kerumunan, tidak lain adalah alat ukur kebenaran. Ketika Yesus disambut di gerbang Yerusalem, suara kerumunan yang menyoraki Yesus lebih keras daripada suara Orang Farisi yang menginginkan Yesus untuk disalibkan. Ketika Yesus di hadapan Pilatus, teriakan "Salibkan Dia!" lebih keras daripada suara-suara lain yang menginginkan Yesus dibebaskan. Kerumunan mengukur benar-salah dan kadang memproduksi kebenaran yang bersifat semu.
Poin kedua yang saya renungkan adalah soal kekuatan momen hening. Ketika Yesus diinterogasi oleh Pilatus, Yesus tidak banya berbicara. Ia cenderung diam. Ia memahami kebenaran hanya diungkapkan sekali. Kebenaran itu bukan hasil spekulasi. Kata Yesus: "Akulah Kebenaran itu!" Jawaban ini tidak diberi penjelasan lanjutan agar mendapat back up argumentasi. Yesus diam melawan riuh sorak-sorai kelicikan orang-orang Farisi dan tua-tua orang Yahudi. Bagi Yesus, diam berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Silence speaks more than words!
Memasuki Pekan Suci ini, kita diminta untuk lebih tenang, hening, dan masuk ke dalam diri. Masa Pekan Suci adalah momen khusus bagi kita dalam mengenang tapa laku selama Masa Prapaskah. Untuk menciptakan hening, hindari kerumunan. Inventaris buah-buah puasa, amal, dan doa selama Masa Prapaskah. Dengan itu, ketika memasuki Tri Hari Suci (Kamis Putih, Jumad Agung, dan Sabtu Kebangkitan), kita sudah siap secara batin dan fisik. Selamat memasuki Pekan Suci!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H