Penelusuran mengenai apa itu keadilan adalah perkara yang terus dikaji dari zaman ke zaman. Sejak zaman Yunani kuno, keadilan dilukiskan sebagai sebuah keutamaan (arete) yang patut dikejar, sebuah keutamaan yang mendasari seluruh hubungan sosial dan politis.
Orang-orang Romawi memiliki sebuah lambang untuk melukiskan keadilan yang diwariskan hingga kita sekarang, yakni ilustrasi dewi keadilan (iustitia).
Di sana dikatakan bahwa dengan kedua matanya yang ditutupi sehelai kain, dewi ini memegang sebuah neraca di satu tangannya, sementara di tangan yang lain ia memegang sebilah pedang.
Gambaran ini menampilkan ide keadilan secara simbolis, dimana kedua matanya yang tertutup menunjukkan sikap tidak memihak terhadap partai-partai yang bertikai; neraca mengacu pada ide "setiap orang sesuai dengan haknya," yakni gagasan tentang kesetaraan; dan pedang itu menggambarkan tindakan memutuskan dilakukan berdasarkan otoritas tertentu (F.B Hardiman, 2006).
Ilustrasi iustitia atau dewi keadilan yang digambarkan oleh orang-orang Romawi menunjukkan bahwa konsep keadilan memuat berbagai pertimbangan di dalamnya.
Pertanyaan mengenai "Apa tolok ukur untuk menilai sesuatu itu adil atau tidak?" adalah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Apakah adil itu berarti sesuai dengan hukum ataukah yang adil itu melampaui tatanan hukum?
Kaum legalis-positivis tetap melihat bahwa keadilan ada di dalam sebuah tatanan. Pertanyaannya adalah "Apakah keadilan hukum itu benar-benar adil?"
Menurut A Setyo Wibowo, prinsip keadilan itu sendiri akan selalu menantang hukum-hukum tertulis (positif) untuk mempertanyakan diri mengenai apakah aturannya sudah sungguh-sungguh adil (A Setyo Wibowo, "Hidup Mati Demi Keadilan," dalam Basis, Nomor 05-06, Tahun ke-64, 2015, 11).
Berbagai kasus penerapan hukum yang tidak adil justru telah memperlihatkan wajah kamuflase. Hukum justru dilihat sebagai alat untuk melanggengkan kekerasan yang pernah ada dalam sistem hukum alam (natural law). Padahal dalam sejarah penetapannya, hukum ada justru untuk membendung kekerasan.
Bagi Derrida, keadilan itu tidak dapat ditemukan dalam sebuah tatanan hukum (hukum positif) dan juga tidak hanya ditemukan dalam hukum ilahi. Para penganut hukum positif menilai bahwa keadilan hanya dapat dicapai melalui sarana yang sah, yakni penerapan aturan hukum.
Aturan hukum berbicara seperti apa, keadilan justru diturunkan dari tatatanan tersebut. Institusionalisasi konsep keadilan sebagai yang sesuai dengan hukum secara tidak sadar menutup akses penemuan makna keadilan di luar tatanan itu.