Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Minggu Prapaskah III: Jaga Jarak dengan Tuhan

Diperbarui: 7 Maret 2021   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkomunikasi dengan Tuhan tetap menaruh jarak agar bisa saling memahami. Foto: parokicikarang.or.id.

Dekat artinya tahu batas. Ya, tahu batas dan tahu sopan santun. Menjaga jarak terhadap realitas, apalagi terhadap sesuatu yang transenden, adalah sebuah keharusan. Mengapa demikian? Jaga jarak sejatinya membuat kita mampu memahami dan menghargai realitas. Tahu batas dan jarak, membawa kita pada pemahaman yang luas, lebar, sekaligus mendalam. Jaga jarak membuat kita mampu menerima yang lain dan berbeda.

Sebaliknya, jika kita terlalu dekat dengan realitas atau objek tertentu, ada ketakutan kita akan jatuh pada pemahaman yang sempit dan dangkal. Ada ketakutan kita justru mengangga-remeh. Tak hanya jatuh pada hal-hal yang sifatnya superfisial, kedekatan justru membuat yang lain (berbeda dan transenden) justru dikuasai oleh pemahamanku sendiri. Ini adalah bahaya terbesar. Memasukan keluasan realitas atau objek tertentu ke dalam pikiranku artinya memberi keleluasaan pada diriku untuk menguasainya.

Bacaan-bacaan yang disuguhkan pada Hari Minggu Prapaskah III ini, sejatinya mengajak kita untuk selalu menjaga jarak dengan Tuhan. Konsep menjaga jarak dalam hal ini tidak berarti kita menjauhkan diri atau lari dari Tuhan. Bukan itu yang saya maksudkan. Menjaga jarak dengan Tuhan berarti membuat kekayaan, keluasan, dan kedalaman konsep tentang Tuhan tetap utuh-murni. Menjaga jarak dengan Tuhan berarti saya tahu batas dan perlu sopan santun berhadapan dengan-Nya. Ketika Tuhan menjadi milikku dan aku berkeyakinan memahami Tuhan seutuhnya, pada saat itu, saya tengah memasung Tuhan.

Apa jadinya jika Tuhan sudah berhasil saya definisikan? Ketika Tuhan sudah didefinisi dan saya berkeyakinan bahwa saya tahu segala-galanya tentang Dia, pada saat itu Tuhan habis. Ia tidak lagi menjadi yang misteri. Ia tidak lagi dianggap yang mahakuasa, yang transenden, dan yang menguasai. Justru ketika Tuhan dicengram ke dalam kepunyaanku, di saat yang sama, saya sebetulnya tengah menguasai Tuhan.

Kitab Keluaran sebetulnya mengingat kita mengenai semuanya ini. "Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan. Jangan membuat berhala-berhala yang lain" (Keluaran 20:1-17). Kedekatan Tuhan dengan bangsa Israel memang sangat intim. Bahkan, Allah sendiri menyebut bangsa Israel sebagai bangsa pilihan-Nya. Ketika Allah menempatkan Israel sebagai yang dikhususkan bagi-Nya, saat itulah orang Israel merasa memiliki Tuhan. Memiliki Tuhan, dalam arti tertentu berarti menguasai -- hal itu dibuat oleh bangsa Israel. Selain menguasai, ada bahaya lain yang tidak mudah dibendungi, yakni tidak menaruh hormat pada Tuhan (transenden).

Rasa posesif atas Tuhan juga diperlihatkan Yohanes dalam bacaan Injil hari ini. Tindakan Yesus mengusir para pedagang dari Bait Allah, hemat saya merupakan sebuah peringatan keras terkait kedangkalan pemahaman orang Yahudi yang terlalu dekat dengan Tuhan (Yohanes 2:13-25). Orang Israel merasa bahwa dirinya dipilih oleh Allah dan merasa dicintai oleh Allah. Konsekuensi dari realitas ini tidak sepenuhnya dipahami dengan baik. Ketika orang Israel jatuh pada pemahaman mengenai Allah milikku, justru mendorong mereka untuk menguasai Allah dengan cara palang pembatas --merubuhkan batas-batas keilahian-manusiawi.

Tindakan Yesus "membersihkan" Bait Allah sejatinya adalah bagian dari proyek penyadaran akan pemahaman tua-tua orang Yahudi mengenai Allah kala itu. Para penjaga hukum Allah merasa tahu segala-galanya dan berkuasa atas seluruh ruang gerak hidup orang Yahudi. Hal ini membuat mereka tak lagi menghormati kesakralan relasi dengan Tuhan dan kesakralan tempat Allah berdiam. Jika mereka tahu diri dan tahu batas, pasti Bait Allah saat itu tidak dikerumuni oleh para pedagang. Merasa dekat dengan Tuhan, tidak berarti melangkahi pembatas dan berbuat sesuka hati. Dekat berarti saya tahu batas.

Secara geografis, Bait Allah terletak di Yerusalem. Pada zaman Yesus, Bait Allah menjadi episentrum gerakan keagamaan dan pusat ekonomi. Banyak orang berziarah ke Yerusalem bukan hanya untuk menemui Tuhan di Bait Allah, tetapi juga untuk berbelanja (shopping). Maka, tidak heran, jika Bait Allah saat itu dengan mudah disulap menjadi tempat berjualan. Di Bait Allah, para penjual mudah memengaruhi para pembeli. Kontak dengan banyak orang usai memberikan persembahan di Bait Allah membuat para pedangang mampu menangkap peluang bisnis dekat Bait Allah. Hemat saya, dalam keadaan demikian, sebetulnya mereka yang datang dari luar Yerusalem lebih menghormati Bait Allah daripada orang-orang Yerusalem sendiri.

Di beberapa kota, kita melihat bagaimana bangunan Gereja atau tempat ibadah dibangun dekat pusat perbelanjaan. Bagi orang-orang berada misalnya, rumah-rumah ibadah demikian sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan -- misalnya setelah ibadah langsung shopping atau makan-makan. Selain rumah-rumah ibadah yang dekat pusat perbelanjaan, ada pula jenis bisnis yang menyambangi rumah ibadah. Misalkan, kedai makan dadakan, pada hari-hari ibadah tertentu atau hari Minggu, berjejer dekat rumah ibadah. Jangan heran, ini bagian dari strategi bisnis. Di mana ada kerumunan, di situ uang beredar.

Apa yang penting untuk kita di Hari Minggu Prapaskah III ini adalah soal menjaga jarak. Ketika kita manruh jarak dengan Tuhan, di saat yang sama, kita sedang membangun relasi dengan-Nya, mau berkomunikasi, dan mau mendengarkan-Nya. Sebaliknya, jika jarak dirubuh, kemungkinan besar, kita akan meremehkan Tuhan.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline