Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Kenapa Masih Ada Agama?

Diperbarui: 6 Maret 2021   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartun bagaimana agama bertahan dalam perkembangan zaman. Foto: www.cagle.com.

Diskursus metafisika selalu menjadi perhatian para filosof dan pemikir liannya dari abad ke abad. Pada Juli 2001, sebuah perhelatan akademis berusaha mendiskusikan secara ilmiah-kritis mengenai agama dan onto-teologi. Perhelatan ini bertajuk "Religion after Onto-teology." Dalam uraiannya, Adriaan Paperzak berusaha membuka tabir keambiguan mengenai masa depan ontoteologi dan usia agama yang tetap bertahan hingga saat ini dengan pertanyaan eksistensialnya: "Apa yang seharusnya dipahami mengenai onto-teologi?"  

Berbicara mengenai ontoteologi adalah sebuah tanggapan sinis atas tradisi filsafat. Kritik atas metafisika Barat -- metafisika kehadiran yang mengagung-agungkan logos sebagai tolak ukur kebenaran -- sudah dilakukan sejak zaman Nietzsche dan berpuncak pada periode Martin Heidegger. Metafisika kehadiran telah melahirkan gaya berpikir yang bersifat determinan -- jika A, maka B. Dalam bahasa Sartre, tradisi filsafat Barat -- dari zaman Plato hingga Hegel -- merupakan upaya pelanggengan prinsip "esensi mendahului eksistensi." Pertanyaan mendasarnya, jika destruksi metafisika Heidegger telah didaratkan, lalu "Mengapa masih ada agama setelah semua perombakan tersebut?"

Kemunduran mengenai metafisika sudah diberitakan ketika Blaise Pascal mengemukakan bahwa Allah para filosof bukanlah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Di lain pihak, Nietzsche mengumumkan juga mengenai "kematian Tuhan." Seruan Nietzsche akhirnya memengaruhi banyak pemikir lainnya, termasuk Heidegger -- penghancur metafisika. Heidegger mengkritik tradisi metafisika yang mengagung-agungkan ada. Menurut Heidegger, sejarah filsafat Barat -- dari Plato hingga Hegel -- adalah sejarah melupakan ada. Seluruh interpretasi mengenai ada ditarik seluruhnya ke dalam tradisi filsafat Barat -- metafisika kehadiran.

Ada yang sesungguhnya (Being) -- yang tersembunyi, tidak menampakkan diri -- dilupakan karena dominasi cara berpikir determinan. Maka, metafisika pada dasarnya merupakan sejarah melupakan ada, dan hal ini kemudian diberi istilah khusus oleh Heidegger, yakni ontoteologi. Kata ontoteologi berasal dari tiga kata, yakni ontos (ada), theos (Tuhan) dan logos (rasio). Onto-theo-logi merupakan hasil analisis Heidegger atas seluruh sejarah filsafat, di mana semua pencarian being (Ada) yang terakhir dan mendasar diberi karakter sebagai divine (theos) dan dibungkus dengan wacana dan skema berpikir yang logis. Nubuat Heidegger tentunya berusaha untuk mengakhiri tradisi yang dinamakan metafisika.

Dalam tulisannya, Paperzak menangkis nubuat destruktif Heidegger mengenai kehancuran metafisika. Paperzak menunjukkan keautentikan dan kelanggengan usia esensi (causa sui, Tuhan) yang dipertahankan sejak Abad Pertengahan. Ia menunjukkan bagaimana istilah causa sui yang menunjuk pada Tuhan yang diyakini dalam agama tidak megerucut pada pengertian ada sejauh ada. Paperzak menolak untuk menyamakan agama dengan tradisi skema filosofis apapun. "Just as art cannot be constructed by philosophy, religion has its own criteria for authenticity" (Religion after Onto-theology, 108).

Agama memiliki kriteria tersendiri yang tidak bisa direduksi ke dalam horizon berpikir filsafat. Allah para filosof selalu mengarah pada ada sejauh ada (ontos), sejauh bisa ditangkap pengelihatan dengan kriteria-kriteria, seperti esensi, substansi -- yang diakumulasi dalam bentuk materi. Paperzak mengatakan bahwa Allah tidak bisa direduksi ke dalam pengertian seorang individu. Pengertian ini -- Allah sebagai seorang individu (a person) -- mengandung karakter keberhinggaan (finite). Seharusnya, gambaran mengenai esensi atau substansi yang dikemukakan dalam filsafat Barat dihubungkan dengan yang lain (Mitsein).

Kehadiran yang lain (liyan) mendapat perluasan pembahasan, terutama ketika dihubungkan dengan Emmanuel Levinas. Dalam Totality and Infinity, perbedaan mengenai totalitas dan ketakberhinggaan Allah didalami. Kata "ketakterhinggaan" (infinite) bisa dipakai untuk menyebut Allah, seperti halnya John Scotus dan para pemikir lainnya lakukan. Akan tetapi, Levinas menggunakan kata ini untuk mendeskripsikan tentang manusia yang lain. Dalam Levinas, relasi dengan Allah -- yang dinamakan dengan doa -- menunjukkan relasi dengan yang lain. Menurut Levinas, yang lain yang berbicara kepadaku atau yang tengah menatapku mengusik dan mendorong aku untuk menaruh perhatian pada kehadirannya -- bukan melalui apa yang dikatakan atau apa yang dibuatnya, tetapi justru melalui perjumpaanku dengannya.

Wajah yang lain, kata-katanya, gesturnya mendorongku untuk melakukan sesuatu. Levinas mengafirmasi yang lain memiliki posisi di atas (height). Dalam komparasinya dengan elemen perubahan di dunia, yang tertinggi ini (height) adalah absolut dan tak terhingga. Levinas mengakui bahwa, di satu sisi, kita hidup di dunia, sementara, di sisi lain, yang lain mengusik kehidupanku. Ketakterhinggaan menolak kemungkinan totalitas menjadi yang terakhir. Etika tanggung jawab Levinas menempatkan yang lain sebagai yang sama sekali berbeda dari aku. Liyan dalam Levinas, berbeda dengan engkau dalam penjelasan Martin Buber. Dalam Martin Buber relasi aku -- engkau masih dipengaruhi karakter simetris -- aku memberi, agar engkau juga memberi (resiprokal). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline