Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Demokrasi dari Elite, oleh Elite, dan untuk Elite

Diperbarui: 18 Februari 2021   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi demokrasi dimana kompetisi terjadi oleh elite.Foto: nasional.kompas.com.

Dari penjelasan term demokrasi demos dan kratein, pada dasarnya demokrasi selalu berhubungan dengan rakyat. Dalam karya klasik Yunani yang berjudul Polis, di situ dijelaskan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana masyarakat miskin bisa menggunakan kekuasaannya untuk membela kepentingan mereka terhadap yang kaya. 

Dari sinilah latar belakang munculnya demokrasi, yakni adanya kesenjangan. Demokrasi sebetulnya lahir untuk menjembatani antara yang kaya dan miskin agar tidak tercipta gap di antara keduanya (dalam pengertian Yunani: Polis).

Demokrasi tentunya merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dari, oleh, dan untuk rakyat. Ini berarti demokrasi itu milik rakyat (semua warga negara tanpa pemisah -- bukan milik golongan tertentu). Rakyatlah yang berkuasa atas dirinya sendiri.

Ketika berhadapan dengan pemilu yang demokratis, yang menjadi pelaku utama di sini adalah rakyat sang penghuni polis. Dengan kata lain, pesta demokrasi itu milik rakyat, sehingga kebebasan memilih adalah previlige rakyat (tanpa adanya paksaan). Segala emblem yang berusaha memutar haluan rakyat untuk memilih adalah ciri sistem rupiahkrasi.

Dari pesta demokrasi yang sudah dilakukan hingga pemilu 2019 kemarin, idealnya menggambarkan praktik demokrasi yang salah -- yang seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat -- malah menjadi dari elite, oleh elite, dan untuk elite.

Pelaku demokrasi tiba-tiba digenggam kaum elite. Segala unsur yang menyokong pesta demokrasi ditelan habis oleh kaum elite. Pesta demokrasi berubah menjadi pesta para penjudi kelas konglomerat. Perjudian abad ini yang ditunggangi oleh elite-elite yang lapar dan haus akan kekuasaan.

Suara rakyat dicaplok, dihargai Rp 200.000 per orang atau kepala keluarga, maka demokrasi -- semulanya milik rakyat -- otomatis bergerak ke tangan para tunaetik yang minim tanggung jawab. Ironisnya, meminjam Thomas Hobbes, para politikus bahkan berusaha memangsa sahabatnya sendiri -- politikus menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). "Tidak ada etiknya lagi", kata Nurul Arifin politisi Partai Golongan Karya yang terpental dari kursi Senayan (Kompas, 10 Mei 2014).

Politik uang menunggu momen penting untuk menyalip di tikungan terakhir. Muncul perdebatan baru di kalangan DPR mengenai peratifikasian UU Pemilihan Kepala Daerah yang semulanya dilakukan secara langsung (oleh rakyat) dan kemudian menjadi tidak langsung (oleh DPRD). Hak rakyat untuk memilih tidak lagi dikedepankan.

Demokrasi Akar Tindakan Korupsi

Korupsi di rumah sendiri (Indonesia) sudah bukan representasi realitas buruk secara moral melainkan seolah wajar. Simaklah bagaimana sekian konglomerat yang menjadi pemegang debitor kredit macet telah dibebaskan dari tuntutan hukum.

Di Indonesia rupanya berlaku prinsip demikian: 'Jika mencuri, curilah uang sebanyak-banyaknya (jangan hanya beberapa juta melainkan miliaran atau trilliunan rupiah), maka kamu tidak akan disebut pencuri melainkan pahlawan'. Setelah menjadi pejabat teriaklah, "Anti korupsi!", maka Anda akan meneguk pujian selangit (Armada Riyanto, 2011).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline