Bentuk kekuasaan seringkali diilustrasikan dengan piramida dimana raja pada bagian atas, pelayan raja di bagian tengah, dan rakyat paling bawah. Secara tradisional, kekuasaan dimengerti sebagai "being at the top of the pyramid." Di sini, jelas dipahami bahwa kekuasaan disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan, antara lain agama dan negara. Perihal ini, sejatinya mengindikasikan bahwa kekuasaan itu bisa dimiliki, atau dengan kata lain, ada kecenderungan akan klaim kepemilikan terhadap kekuasaan.
Adanya paham kekuasaan seperti ini, melegitimasi dan melegalkan fenomena maraknya korupsi di Indonesia. Daya hukum tidak dapat menangkal para koruptor karena di antara mereka ada tokoh penting yang "mempunyai" kekuasaan. Singkat kata, upaya hukum selalu mengalami jalan buntu akibat adanya konspirasi beberapa pihak yang mampu menyetir keputusan di pengadilan. Kondisi ini, jelas memperlambat penanganan kasus-kasus korupsi hingga tuntas.
Selain fenomena korupsi, juga ditemukan maraknya diskriminasi di Indonesia. Fenomena ini selalu muncul di media sosial, dengan korban utamanya adalah kaum perempuan. Sepanjang sejarah peradaban manusia, persoalan ketidakadilan sosial, umumnya menimpa kaum feminis. Mereka semata-mata diasosiasikan pada peran domestik dan reproduksi. Kultur dan tradisi dituduh sebagai biang keladi yang menciptakan pelabelan atau stereotipe tertentu pada perempuan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.
Gender dipandang sebagai konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Gender menjadi suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dengan mudah diklasifikasi.
Adanya instansi agama sering dituduh sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum feminis akibat dualisme cara berpikir yang diterapkan. Kaum feminis sering dilihat sebagai objek pelampiasan libido. Mereka hanyalah sarana pemuas kebutuhan kaum maskulin. Dengan kata lain, perempuan adalah korban pemerkosaan dan pengkhianatan.
Hal ini nyata, ketika pada (11/1/2018) lalu, terjadi pelecehan seksual di Jalan Kuningan Datuk, Beji, Depok. Perbuatan tidak pantas ini terekam kamera CCTV dan videonya viral di media sosial. Dalam video itu, tampak seorang wanita berkerudung menjadi korbannya. Selain itu, kasus serupa juga terjadi di Jatinegara. Polisi berhasil menangkap pelaku kekerasan seksual yang terekam kamera CCTV di Jatinegara, Jakarta Timur. Tersangka, Rifki melakukan aksi ini pada Selasa, 6 Februari 2018.
Saat ini para perempuan dan anak marak menjadi target penculikan. Para pelaku kejahatan melakukan aksi ini dengan modus melucuti hartanya. Selain itu, perempuan juga menjadi korban kekerasan seks khususnya buruh migran.
Data yang dimiliki Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, dari 274 kasus kekerasan yang dilaporkan tahun lalu (2017), 199 di antaranya merupakan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut 104 di antaranya merupakan kekerasan fisik dan 69 merupakan kekerasan psikis, 17 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus perkosaan (Radar Jogja, 5/2/2018).
Selain diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak, kasus diskriminasi juga marak dialami oleh kaum LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender) di Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang tidak memihak kaum LGBT, misalnya pertama, Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat.
Kedua, Perda Kota Palembang No. 2 tentang Pemberantasan Pelacuran. Kedua Perda ini mengkategorikan kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran. Ketiga, Perda Kota Batam No.6 Tahun 2002. Peraturan ini mendiskriminasi perkumpulan atau organisasi dengan orientasi seksual yang berbeda.
Keempat, Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Deny J. A, 2014). Perda ini mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan informal yang dilakukan oleh kaum miskin termasuk kelompok LGBT. Dengan demikian, perda-perda ini secara tegas meniadakan hak-hak kelompok preferensi seksual LGBT untuk menentukan pilihan sikap seksualitasnya.