Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Ide Keadilan sebagai Sesuatu yang "Uncalculable" dan "Unpredictable"

Diperbarui: 16 Januari 2021   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar keadilan dan hukum. Sumber: jagatngopi.com.

Masalah keadilan adalah masalah yang tidak pernah selesai dibahas sepanjang abad. Dari zaman Yunani Kuno hingga sekarang, orang terus mengkaji apa makna sesungguhnya dari keadilan itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan ini menuai banyak penjelasan dan multi tafsir. Akan tetapi, karena manusia ingin hidup dalam kerangka yang pasti, ia pun dituntut untuk menemukan makna keadilan secara pasti pula.

Tuntutan akan kepastian makna keadilan mengantar seseorang untuk mencari padanan makna keadilan. Akhirnya, orang mulai mengidentikan keadilan dengan tatanan tertentu, seperti hukum. Selain mengidentikan kedilan dengan hukum, dalam perkembangannya, orang mulai memastikan makna keadilan dari tatanan bernama hukum atau tatanan rasio.

Ketika keadilan diturunkan dari tatanan bernama hukum, ide keadilan menjadi terbatas. Keadilan menjadi sesuatu yang pasti, yakni diturunkan dari tatanan legal bernama hukum. Pemastian konsep keadilan, dengan sendirinya melahirkan berbagai tindakan tiranisme, karena makna keadilan justru diinstitusionalisasikan. Keadilan akhirnya dilembagakan ke dalam tatanan bernama hukum. Keadilan hukum jatuh pada penemuan keadilan secara tekstual (quod scripsi, scripsi), bukan sebaliknya keadilan kontekstual.

Kaum postmodernis, seperti halnya Jacques Derrida berusaha membongkar upaya pereduksian makna keadilan hanya ke dalam tatanan bernama hukum. Menurut Derrida, makna keadilan harus didekonstruksi. Derrida melihat dengan jeli paradoks yang terjadi dalam hukum. Oleh karena itu, Derrida memulai dekonstruksi konsep keadilan-hukum dengan mendekonstruksi hukum.

Lalu pertanyaannya adalah "Apa itu dekonstruksi?" Kata dekonstruksi sejatinya erat kaitannya dengan nama Derrida. Jacques Derrida adalah seorang filosof postmodern berkebangsaan Prancis yang lahir di El Biar, Aljazair pada 15 Juli 1930. Pertualangan intelektualnya sebagian besar diasah di Prancis bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti Michel Foucault, Paul Ricouer, dan Emmanuel Levinas. Akan tetapi, Derrida lebih mengembangkan pemikirannya di Amerika Serikat.

Di sana, pemikirannya berkembang luas dan salah satu buku yang pernah ia terbitkan, antara lain berjudul Force of Law: The Mystical Foundation of Authority. Buku Force of Law secara singkat mengkaji tiga hal pokok, yakni kekerasan, hukum dan keadilan. Ketiga hal ini dikritisi dengan belati dekonstruksi dan dengan bantuan analisis teks Walter Benjamin berjudul Zur Kritik der Gewalt (Kritik atas Kekerasan).

Istilah dekonstruksi berasal dari dua kata, yakni kata destruksi (membongkar) dan construction (membangun). Derrida mengakui bahwa kata dekonstruksi tidak lepas dari pengaruh pemikiran Martin Heidegger tentang destruksi metafisika dan Edmund Husserl tentang Abbau (pembongkaran). Di tangan Derrida, istilah destruksi mulai dikemas secara lain, yakni dengan menghadirkan istilah baru dekonstruksi. Bagaimana dekonstruksi seharusnya dipahami?

Derrida tidak mendefinisikan kata dekonstruksi secara pasti. Bagi Derrida, memberi definisi berarti membatasi. Oleh karena itu, dekonstruksi justru melampui batas. Dekonstruksi bisa dipahami melalui jalan negasi (via negativa). Pertama, dekonstruksi pertama-tama bukanlah sebuah metode. Bagi Derrida metode justru mempertahankan sistematika kajian dan kadang selalu bersifat mengulang. Dekonstruksi bukanlah sebuah metode karena dekonstruksi dilihat sebagai sebuah peristiwa -- lebih tepat peristiwa dalam pembacaan. Peristiwa berarti unik dan tidak terulang.

Kedua, dekonstruksi bukanlah sebuah destruksi negatif, tetapi sebuah penetapan secara kritis atas upaya pelembagaan makna. Dengan kata lain, dekonstruksi justru membongkar konsep ide-fixe. Ketiga, dekonstruksi bukanlah nihilisme. Dekosntruksi dipandang sebagai upaya untuk terbuka menerima yang lain, yang terpinggirkan dan diabaikan. Sasaran dekonstruksi, antara lain adalah hirarki oposisi biner dalam politik teks, seperti term mayoritas dan minoritas yang sejatinya menyembunyikan ideologi tertentu.

Keempat, dekonstruksi tidak anti-filsafat, tetapi berusaha membongkar segala pereduksian Be yang selama ini dilupakan. Metafisika kehadiran adalah salah satu sasaran politik dekonstruksi, dan kelima, dekonstruksi adalah sebuah pembacaan ganda (double reading). Menurut Derrida, makna selalu tersebar (dissemination), oleh karena itu, kita tidak dapat mengontrol makna keadilan secara pasti. Menurut Derrida "There is nothing outside the text!" Makna dengan kata lain selalu tergantung pada konteks pembacaan, bukan pada logika pengarang dan historisitas. 

Dekonstruksi hanya bisa dipahami ketika kita tidak berangan-angan untuk mereduksinya hanya ke dalam sebuah definisi pasti. Hal ini berlaku juga dengan keadilan. Keadilan, sejatinya tidak bisa didefinsikan. Ide keadilan melampui semua definisi dan tatanan manapun, baik yang bernama hukum maupun tata rasio. Mengapa ide keadilan tidak bisa diidentikan dengan hukum? Derrida menjawab persoalan ini dengan memperlihatkan paradoks yang terjadi di dalam hukum. Kata to enforce the law, bagi Derrida adalah sebuah bentuk kekerasan, yakni kekerasan performatif. Dengan mengatakan hukum harus ditegakkan, hukum justru mempraktikkan tindakan kekerasan. Padahal tujuan berdirinya hukum adalah mengehentikan tindakan kekerasan yang terjadi dalam hukum kodrat. Praktik hukum yang tidak adil -- runcing ke bawah dan tumpul ke atas -- adalah skema sandiwara hukum yang selama ini beroperasi dalam kehidupan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline