Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Aku dalam Ruang Gerak Termometer Tembak

Diperbarui: 11 Desember 2020   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dara.co.id

Beberapa kali saya harus ditembak alat pengukur suhu. Dilaser tepat di dahi. Sasarannya langsung ke dahi. Untung tak apa-apa. Ini syarat jika berada di luar rumah. Ruang gerak saya diatur oleh termometer tembak. "Ya, 36, boleh masuk!" kata satpamnya sambil megang alat pengukur suhu. Alat itu menentukan ruang gerak saya sesaat.

Sekarang jika mau keluar rumah, prosedurnya makin ribet. Harus pake masker, harus bawa antiseptik atau handsanitizer, harus jaga jarak, dan banyak keharusan lainnya. Ruwet-ribet. Dunia ini dibuat semakin ribet dari yang seharusnya.

"Bukankannya hidup itu sendiri sudah ribet?" tanya Cindy slalah seorang siswi kelas II SMP di Yogyakarta. Dari lahir, kita memang sudah ribet. Tak hanya ribet, begitu memasuki dunia baru, kita dihadapkan pada begitu banyak imperatif dan larangan. Kita patuh karena kita berkewarganegaraan.

Manusia memang sudah terbiasa dengan hal-hal ruwet-ribet. Ia membiasakan diri dan beradaptasi. Tapi, dalam keadaan demikian, ia tak pernah menyerah. Ia mau menerima tantangan. Ia mau mencoba. Singkatnya, ia mau melampaui.

Di ruang "check in" bandara I Gusty Ngurah Rai Bali, beberapa teman saya harus "ngantri" berjam-jam 'tuk menunggu proses pengecekkan administrasi terkait kesehatan. Memang, di ranah apapun, untuk saat ini, orang perlu menambah extra administrasi. Jika "tiket" bebas Covid-19 belum ditunjukkan, Anda tak boleh "bording pass."

Itu kalau kita mau minggat dari satu tempat ke tempat yang lain. Di beberapa pusat perbelanjaan saja, urusan jual-beli juga jadi ribet. Agar bisa masuk untuk belanja kebutuhan pokok, tak cukup jika cuman bermodal duit. Anda perlu punya budget lain, yakni kesehatan. Tepatnya suhu badan. Jikalau melampaui kriteria, tak diizinkan 'tuk belanja. Ribet kan?

Hal ribet lainnya muncul ketika Anda keluar dari tempat perbelanjaan. Anda bakal dicekal sama tukang parkir. "Uang parkirnya? Ke utara atau selatan?" tanya tukang parkir. Tempat kita beristirahat sejenak untuk saat sekarang tak ada yang gratis. Ya, semakin ribet dan ruwet. Kita dipaksa mematuhi semuanya demi kenyamanan dan bukan demi kesehatan.

Ya demi kenyamanan. Toh jika tak dipatuhi, kita dihakimi massa dan dibilang pembangkang dan dicap intoleran. Kita takut pada opini, reaksi massa, dan aturan pemerintah. Melanggar berarti kena hukuman. Jadi, kita harus tunduk. Biaya operasional pun meningkat. Karena setiap tempat harus menyiapkan tambahan fasilitas, seperti tempat cuci tangan, handsanitizer, dan alat pengukur suhu.

Hal-hal sederhana saja, untuk saat ini, jadi semakin ribet. Olahraga di luar harus pake masker. Bersepeda jadi pakai penutup kaca. Saya jadi teringat sama film-film aneh, seperti zombie. Manusia dibuat ribet-ruwet.

Di zona birokrasi upaya perampingan berbagai aturan juga gencar dibahas. Aturan kita terlalu banyak dan potensial bikin ribet. Maka, dibuatlah upaya perampingan tubuh undang-undang dengan perumusan omnibus law. Arahnya, biar tidak terlalu ribet. Eh, baru separuh jalan, aturan baru ramai mengantri. Semuanya terkait protokol kesehatan memerangi virus. Usaha mematikan satu, yang seribu bangkit menjamur. Ribet kan?

Kita memang tengah diuji. Ya dunia. Dunia tengah diuji. Diuji dengan sistem dan kemajuan. Kemajuan membuat orang akhirnya menjadi ribet. Seandainya kemajuan tidak melahirkan alat pengukur suhu, mungkin saja, kita tak terkena virus. Karena kemajuan, orang lari terbirit-birit mendengar tes swab atau alat-alat kesehatan yang mencari-cari keberadaan virus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline