Situasi politik dan perang ideologi di Mesir pada tahun 1920-an adalah awal kebangkitan berbagai gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi anti-pemerintah.
Kegemaran orang untuk mengadopsi budaya-budaya khas Barat -- terbitan bangsa kolonial saat itu (Inggris) -- dengan mudah mengubah orbit orientasi Mesir sebagai negara Islam di benua Hitam. Hadirnya budaya Barat yang sengaja diterapkan oleh pemerintah kolonial Inggris, dengan sendirinya menlunturkan nilai-nilai Islam di Mesir.
Islam kemudian hanya dilihat sebagai media dzikir dan tasbih serta kecenderungan untuk menyederhanakan fungsi Al-Quran. Ironisnya, pengendoran ruh Islam di Mesir saat itu, juga didukung oleh beberapa kaum kapitalis Mesir yang berkonco dengan pemerintah kolonial. Padahal Islam merupakan agama umum orang Mesir. Opsi fundamental pemerintah yang kurang tegas turut membuka peluang melebarnya ideologi-ideologi Barat di Mesir.
Raja Faruq -- dalam hal ini -- tidak mampu menjatuhkan pilihan tegas untuk berpihak pada Mesir atau pemerintah kolonial. Menurut Anas al-Hajaji, latar belakang munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin dan tokoh Hasan al-Banna juga sangat dipengaruhi oleh gerakan tasauf yang menolak gerakan reformasi (Anas al-Hajaji, Otobiografi Hasan al-Banna -- Tokoh Pejuang Islam: 1983). Situasi yang tidak menentu inilah -- terpojoknya agama Islam -- yang membuka ruang bagi munculnya organisasi grassroots, seperti Ikhwanul Muslimin ciptaan Hasan al-Banna.
Hasan al-Banna adalah tokoh Islam garis keras di abad ke-20. Ia lahir pada bulan Oktober, 1906 di Al-Mahmudiyah, provinsi Al-Buhairah, di sebelah Utara Mesir dengan nama Asy-Syahid Hasan Al-Banna (Ali Muhammad Garisyah, Dakwah dan Sang Dai: 1988).
Hasan al-Banna adalah penganut mazhab Hanbali. Hanbali adalah istilah bagi Islam radikal-konservatif yang memandang Al-Quran sebagai segala-galanya. Penganut mazhab Hanbali cenderung menafsir secara literer ayat-ayat Al-Quran sesuai yang tertulis.
Hasan al-Banna memulai pendidikan dasarnya di Al-Mahmudiyah, setingkat dengan Al-Ibtidaiyah. Kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah mu'allimin di Damanhur dan menjadi mahasiswa di Fakultas Bahasa Arab dan Ilmu Agama Islam di Kairo.
Di Kairo, selama masa studinya, ia bergabung dengan komunitas religius di bawah sistem pendidikan Islam. Dari sini ia mampu memahami Islam sesungguhnya dan berusaha mengembalikan status Mesir sebagai negara Islam. Oleh karena itu, ia berusaha mengkoordinir mahasiswa Universitas Al-Azhar Universitas Dar al-'Ulum untuk memulai pewartaan di berbagai masjid dan tempat-tempat pertemuan.
Pada periode ini, al-Banna sangat dipengarui oleh tulisan-tulisan para pemikir Islam Modern, seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida dan Ahmad Taymur Pasha (Majid Khadduri: 1996). Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Dar al-'Ulum (1927), ia kemudian dipilih menjadi guru Bahasa Arab di Isma'iliyya -- Isma'iliyya adalah sebuah kota kecil dengan sedikit karakter Eropa.
Di Isma'iliyya al-Banna memulai memperkenalkan gagasan-gagasannya kepada para pekerja Muslim dan para pedagang kecil. Ia berusaha mempertahankan gagasannya melawan gaya hidup orang Eropa yang sangat bebas.
Pada bulan Maret 1928, al-Banna mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Organisasi Persaudaraan Muslim atau Ikhwanul Muslimin. Pada fase embrional organisasi ini, fokus misi al-Banna adalah perekrutan anggota, memperlebar cabang-cabang organisasi baik ke Timur maupun ke Barat. Pada tahun 1932, al-Banna kembali ke Kairo, Mesir.