Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Black Friday di Tengah Pandemi: "Is it Bad Day?"

Diperbarui: 27 November 2020   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Foto: Dok Pribadi Kristianto Naku.

Sehari sebelum perayaan Black Friday, biasanya diadakan sebuah perayaan bertajuk ThanksGiving Day. Perayaan ThanksGiving Day biasanya diadakan pada hari Kamis pekan IV bulan November. Perayaan ini populer di wilayah Amerika Utara sebagai sebuah seremoni ucapan syukur atas hasil panen. Maka, tidak heran, setiap hari Kamis pekan IV bulan November, orang-orang Amerika berkumpul bersama keluarga untuk berbagi dan berpesta.

Malam harinya, pada hari Kamis, pandemi kegiatan berbelanja mulai dibuka. Perayaan ThanksGiving Day umumnya langsung disambut dengan antrian panjang pesta belanja. Konon, istilah Black Friday pertama kali dipopulerkan pada tahun 1960-an oleh seorang polisi Philadelphia. Saat itu, seorang polisi mengulas bagaimana antrian mengular untuk berbelanja pada hari Jumad pasca ThanksGiving Day terjadi di berbagai kota. Banyak warga Amerika yang turun ke jalan untuk berburu barang belanjaan hingga harus mengantri, berdesak-desakkan, dan bahkan ada yang ricuh.

Dari wilayah Paman Sam, istilah Black Friday kemudian mengular ke berbagai negara. Banyak negara mengadopsi istilah ini dan mendesak pasar untuk melakukan hal yang sama. Untuk itu, setiap hari Jumad pekan terakhir dalam bulan November, pangsa pasar menetapkan satu hari khusus bagi pelanggan untuk menggeledah produk belanjaan mereka. Orang ramai-ramai berbelanja justru karena pada peringatan Black Friday, diskon dan promo besar-besaran dipajang.

Di Indonesia, desakan untuk berburu Black Friday meningkat pada tahun 2016. Hal ini ditandai dengan meningkatnya daya beli konsumen hingga angka 16 persen. Black Friday biasanya dilakukan oleh pasar e-commerce dan toko-toko offline. Keduanya belomba-lomba mempromosikan diskon besar-besaran agar mampu memengaruhi minat pembeli. Mitosnya juga, Black Friday mempunyai kaitan yang cukup erat dengan perayaan Natal. Maka, tak jarang orang menilai Black Friday sebagai tanda awal dibukanya musim belanja perayaan Natal.

Mengambil momentum Black Friday 2020, Foreo yang merupakan beauty-tech brand asal Swedia bersama Sephora Indonesia memberikan diskon sebesar 20%. Berlaku untuk pembelian website dan toko offline, Sephora Indonesia membuka ruang promosi pada 26-27 Desember 2020. Dengan keunggulan teknologi termuktahir, Foreo memberikan pengalaman skincare routine dan pilihan terbaik bagi para beauty enthusiast dalam membersihkan wajah lebih maksimal (MI, 27/11/2020).

Tentunya, tak hanya Sephora dan Foreo Indonesia yang mengunggah produk diskon dan promo untuk momentum Black Friday. Di gerai ponsel dan fashion-outfit, pasar Indonesia juga sudah membuka bilik promo dan diskon. Semuanya berusaha memengaruhi pelanggan dengan berbagai keunggulan produk yang dipasarkan. Kita akhirnya, semacam dipaksa untuk membeli -- apalagi jika kemasan brandnya dibuat secantik mungkin.

Akan tetapi, pertanyaannya: "Apakah minat konsumen tetap menggeliat di tengah pandemi Covid-19 ini?" Meski ditetapkan secara khusus dengan momentum Black Friday, pasar Indonesia kadang lesu. Daya beli konsumen rata-rata berkisar di bahan kebutuhan pokok (sembako). Hal ini sangat dipengaruhi oleh kalkulasi income per bulan. Banyaknya perusahaan yang mem-PHK karyawan, menurunnya daya produksi, serta sempitnya ruang gerak aktivitas sosial, membuat momen Black Friday tahun ini adem-adem wae. Banyak masyarakat masih mengeluh dengan kehadiran Covid-19. Keluhan ini tentunya berimbas pada semua lini kehidupan, termasuk daya beli konsumen atas promosi pasar.

Ruang gerak sosial yang terus dibatasi membuat konsumen kadang lari ke sistem belanja virtual shop. Di sana, konsumen bisa berselancar sepanjang hari untuk menemukan produk-produk mana yang disukai dan dilock untuk dibeli. Biasanya, produk-produk fashion-outfit dan kuliner laris dibobol klik. Jenis pangsa pasar ini sangat memanjakan mata. Celah inilah yang digunakan oleh para pebisnis untuk membuat minat konsumen di tengah pandemi tetap berstamina.

Dalam kisaran waktu 10 menit, seorang pengusaha online shop mampu menjaring ribuan pembeli. Dalam bilik interaksi belanja virtual, segala administrasi biasanya dipermudah. Misalnya, sitem bayar berbasis kartu atau e-money dan biaya ongkir yang lebih murah. Dari sistem belanja virtual ini, masyarakat dimanjakan dan tak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk menyambangi produk yang disukai. Hal ini, juga sangat dipengaruhi oleh situasi iklim sekarang. Musim hujan dan sistem protokol kesehatan yang ketat membuat pandemi shopping online menggeliat.

Hemat saya, momentum Black Friday tahun ini -- meski dikepung pandemi Covid-19 -- masih diminati pasar. Buktinya, pesta promo dan diskon serta animo masyarakat untuk berbelanja masih meningkat. Hanya saja, antrian panjang dan desak-desakan seperti tahun kemarin tak terlalu terlihat di toko-toko offline. Publik justru lari ke virtual shop dengan mempertimbangkan konsekuensi dan keuntungan lain yang didapatkan. Dengan ini, pembeli tetap lihai dan bijak bagaimana memilih dan mendapatkan produk kesukaannya dengan cepat dan baik.

Akan tetapi, momen khusus Black Friday bagi kita di tengah pandemi ini, bukanlah sebuah keharusan. Ketakutan terbesar adalah adanya pengaruh sesama pengguna media sosial yang berusaha menggerakkan stamina belanja. Dengan mekanisme share, orang mudah digiring untuk menyukai dan berusaha mendapatkan barang yang ada. Kerumunan dan suara mayoritas yang menggandrungi produk tertentu, bahkan mampu menciptakan obesitas konsumsi di tengah masyarakat. Maka, tetap waspada saat Black Friday mengepung!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline