Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Sketsa Societas Tanpa Dering

Diperbarui: 24 November 2020   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana sharing seminar di Komunitas Wisma Claretian Jogja. Dokumen Pribadi Krsitianto Naku-

Manusia adalah makhluk yang bertanya. Indikasi diri manusia sebagai makhluk bertanya nampak dari reaksinya sewaktu menjadi hitungan baru dalam kosmos. Ketika hadir sebagai ciptaan baru, seorang manusia tak segan-segan merengek, suatu tanda kelemahan yang hadir memberi kesan futuristik bahwa manusia adalah makhluk paling lemah di kosmos ini. 

Dengan tangisan, sebenarnya mau menginformasikan bahwa manusia sedang bertanya -- siapa saya, tempat apa yang kelak kudiami, siapa orang-orang di sekitar saya, mengapa iklimnya seperti ini, serta masih banyak pertanyaan lain yang menggeroggoti benaknya. 

Gaya bahasa manusia mungil saat itu, berciri simbolis dengan tetap memberikan ekspresi, gesture, dan warna suara. Ketika lapar ataupun sakit, seorang manusia mungil akan merengek. Segala sesuatu yang hendak diutarakan pada umumnya diekspesikan via tubuh atau suara. Hal ini mau menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak diam -- kecuali tunawicara.

Seluruh kehidupannya dipenuhi aneka pertanyaan. Untuk membangun relasi, manusia enggan bungkam. Bertanya tidak harus dipahami secara superfisial. Sebaliknya pertanyaan itu perlu dijawab. Petanyaan dan jawaban tentunya harus sebangun. Pertanyaan pada hakekatnya mengandung unsur resiprokal (jawaban) terhadap sesuatu yang ditanyakan. Senyum dan greetings (ucapan selamat), adalah cara manusia berinteraksi. Sejak semula manusia berbakat filosofis, sebagaimana nampak jelas pada anak-anak. 

Secara spontan dan tanpa berpikir masak-masak, seorang anak mempertanyakan segala sesuatu, bahkan mengenai dari mana asalnya dan ke mana ia akan pergi. Inilah ciri societas bertanya, selalu ada curiosity dalam diri. 

Pola societas bertanya, berinteraksi, ramah, murah senyum ini, sayangnya mulai karat dimakan tren. Karena teknologi, pola societas bertanya tiba-tiba senyap. Manusia mulai khawatir dengan sesuatu di luar dirinya. Manusia mulai mengungkung dirinya sendiri dan hanya berkicau saat update status.

Manusia era teknologi cendrung diam. Manusia lebih tertarik -- berkomunikasi, senyum, dan menangis bersama alat-alat teknologi ketimbang sesamanya. 

Di bus-bus saja, orang-orang jarang berkomunikasi atau memberikan senyum kepada sesama di samping kiri-kanannya. Netizen menganggap dunia riil itu ada pada relasi internet accsess. Interaksi hanya antaraku dan dunia cyber. Manusia temporer, ke mana-mana selalu menjinjing dunianya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia era teknologi cendrung dan kelak menjadi makhluk diam -- ia mengingkari bakat filosofisnya.

Manusia tidak lagi kritis hanya karena pola copy paste, googling, searching, yang melahirkan pola societas pragmatis. Pola masyarakat diam adalah gambaran keangkuhan dan keegoisan manusia. Manusia abad ini cendrung menaruh rasa percaya pada dunia cyber ketimbang sesama. Transaksi, transfer uang, tidak lagi face to face. Orang malah memilih dunia cyber, karena dianggap nyaman, termasuk nyaman untuk aneka aktivitas kriminal.

Jika saya hendak bertanya, saya tinggal googling dan pertanyaan saya bakal terjawab dan bahkan google akan memperbaiki pertanyaan saya. Gadget sungguh membuat manusia menjadi makhluk diam, irit bicara dan kadang menjadi manusia yang tidak manusiawi. Akibat alternatifnya adalah memudarnya budaya dialog. Padahal dialog adalah sarana pemecah masalah. Dunia riil ada di luar dunia yang kalian genggam, di mal, halte, bus, kafe, kampus, dan lain-lain. 

Dunia riil adalah dunia di mana aku dan kau (societas kita) bisa diraba, dicecap, didengar, dicium, dan dilihat. Hemat saya, kita harus memprtahankan budaya interaksi empat mata. Buka mulut, biasakan tuk menyapa sesama di samping kiri-kanan Anda. Teknologi hanyalah salah satu sarana untuk berkomunikasi, bukan segala-galanya. Hidup Anda adalah kita, bukan aku -- oleh karenanya kita disebut makhluk social (homo socialis). Jangan terlau buru-buru tuk sampai pada dunia yang lain (cyber, coklat, abu-abu, remang), nikmatilah dunia sekarang yang riil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline