Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Kualitas Demokrasi dan Marketing Politik di Tangan Generasi Milenial

Diperbarui: 9 November 2020   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diskursus tentang generasi milenial dewasa ini tidak dapat dihindari mengingat dominannya populasi mereka di tengah masyarakat. Pemahaman yang komprehensif tentang karakteristik khas mereka akan memeberi kontribusi besar bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat. 

Akan tetapi, partisipasi mereka dalam dunia politik kadang menemui berbagai tantangan. Tantangan ini berupa intensitas kualitas demokrasi dan bagaimana proses pemasaran strategi politik (marketing politic).  

 Kualitas Demokrasi

Keberadaan generasi milenial memang menumbuhkan spirit baru dalam berdemokrasi. Animo ini boleh kita apresiasi, sebab banyak pihak mengakui bahwa dunia politik Indonesia selama ini haus akan pemimpin dengan elektabilitas tinggi. 

Hal ini tidak terlepas dari rendahnya kualitas calon pemimpin yang diusung oleh partai politik (parpol) dan barangkali juga calon yang diusung oleh parpol hanya mampu menjawab kepentingan primordial. 

Untuk itulah para milenial sepertinya ingin mencari sendiri calon pemimpin mereka, dengan cara terjun langsung ke dalam dunia politik lewat partisipasinya dalam gerakan kerelwanan.

Akan tetapi, di satu sisi, kita perlu mengkritisi keberadaan milenial dalam hubungannya dengan kualitas demokrasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. 

Pertama, semangat fly together merupakan bahaya yang mungkin sulit terdeteksi. Kecenderungan berprinsip 'yang penting hadir' membuat demokrasi tetap akan berjalan di tempat, karena tidak ada aksi nyata yang dituangkan lewat kehadirannya. 

Milenial ditandai dengan banyaknya pemilih muda, disebut memiliki potensi kekuatan politik di luar partai politik, namun  mereka cenderung tidak ingin ikut dalam dunia politik dan tidak ingin berpihak pada parpol manapun.

Kedua, sempitnya ruang diskusi. Arena politik di masa generasi milenial sejatinya berpindah ke ruang maya. Dari sini, ruang diskusi tidak memperluas pemahaman. Komentar-komentar yang pendek meminimalisir diskusi berkualitas dan komprehensif. 

Ketiga, pertemanan di dunia maya cenderung beralas slogan "sepikir dan sepaham." Tendensi berpikir yang sama ini, membuat apa yang dikatakan satu pihak akan dengan mudah diiyakan oleh yang lain. Ketidakhadiran pemikiran yang kontra mengakibatkan diskusi tidak  hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline