Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Sampai Kapan Dekat Itu Berarti Maut?

Diperbarui: 29 Oktober 2020   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi social distancing, jarak sosial. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

"Jarak itu menghidupkan atau sebaliknya jarak justru menginvestasi malapetaka untuk masa depan? Kita lihat, apa yang bakal terjadi usai pandemi -- usai menjaga jarak."

Sudahkah jarak menghentikan bencana? Sudahkan jarak menurunkan grafik pasien terpapar positif Covid-19? Ataukah jarak memang tak berarti apa-apa dalam upaya menghentikan penyebaran Covid-19? 

Aksi demonstrasi menentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja pada hari-hari belakangan ini justru merobohkan jarak. Apakah jarak sudah 'tak lagi bermakna saat aksi berkerumun? Atau mungkinkah dekat itu sudah 'tak lagi berarti maut? 

Social distancing atau kebijakan kawal jarak yang ditetapkan oleh pemerintah sudah memasuki rentang waktu yang cukup lebar. Awalnya, spasi itu tidak terlalu diberi label merah karena memang 'tak terlalu membahayakan.

Akan tetapi, semakin ke sini (di mana data pasien positif semakin menanjak), spasi itu, dirasa semakin penting, dan bahkan jika orang tidak menciptakan spasi, ia berada di ambang maut. Di kala saya atau Anda menyambangi spasi, meut menjemput.

Dalam tulisan ini, istilah dekat yang saya maksudkan adalah soal bersentuhan, salaman, pelukan. Sedangkan istilah jarak, ya seperti yang kita alami saat ini, kurang lebih membuat spasi antar-orang selebar 1,5 m atau 2m atau harus stay at home 'tuk ngunci diri. Itulah dua istilah yang bakal digunakan sepanjang tulisan ini.

Kita lanjutkan! Sebab kedekatan itu, dalam model apa saja, dapat berarti maut. Untuk konteks sekarang, dekat itu mencelakakan, menakutkan, membahayakan, melumpuhkan, memengaruhi jumlah, melukai, mengusik, dan mematikan. 

Di masa bulan puasa kemarin (menuju bulan Ramadhan), dekat itu haram dan menciptakan kemudararatan. Oleh karenanya, orang dilarang mudik dan salat di masjid. Bagaimana memahami perubahan ini? Sampai kapan definisi kedekatan itu berarti mematikan? Dan, kapan kedekatan itu punya daya menghidupkan?

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kiriman stiker "sending virtual hug" dari seorang teman. Stiker ini dikirim karena alasan jarak. Maklum sudah lama dirumahkan. 

Bagi saudara saya yang mengirimkan stiker ini, jarak justru mencelakakan, menjenuhkan, melukai, menciptakan rasa sakit, dan mematikan. Sebaliknya, dekat bagi dia adalah kehidupan, sesuatu yang menggembirakan, menyenangkan, juga memberi semangat.

Realitas yang dipahami dan dialami saudara saya, berbanding terbalik dengan apa yang dipahami pemerintah, petugas kesehatan, publik pada umumnya, atau mungkin Anda yang tengah membaca tulisan ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline