Keadilan adalah salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang sejarah filsafat hukum. Sejak zaman Yunani Kuno -- yang bermula pada abad VI SM sampai abad V M, tatkala Kekaisaran Romawi runtuh -- rakyat Yunani sudah hidup dalam polis-polis di mana satu sama lain memiliki penguasa, sistem pemerintahan, dan sistem hukum tersendiri. Komponen-komponen yang mendasari polis-polis ini kemudian dihidupi secara melembaga (dikukuhkan dalam institusi tertentu) dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan (welfare) dan kebaikan bersama (bonum commune).
Sistem hukum yang dihidupi pada zaman Yunani Kuno sejatinya terus diperjuangkan seiring menjamurnya berbagai persoalan dalam hidup bermasyarakat. Pertanyaan mengenai kebenaran, keadilan, dan hakekat dunia menjadi pergumulan yang tidak pernah selesai. Untuk mencapai kebenaran dan keadilan, maka diperlukanlah suatu sistem baku yang menjadi standar dan ukuran -- yang kemudian disebut hukum.
Lahirnya hukum pada awalnya berusaha memenuhi tuntutan akan keadilan dan kebaikan bersama. Akan tetapi, persoalan mengenai otoritas yang berwenang mengeluarkan sarana mencapai keadilan dan dari mana otoritas itu diperoleh, adalah sesuatu yang terus dikritisi hingga zaman sekarang. Menurut kaum Sofis, yang hidup sezaman dengan Sokrates, yang berwenang menentukan isi hukum itu sendiri adalah rakyat. Peranan rakyat dalam membentuk isi hukum diyakini dapat mengontrol mereka yang dianggap berkuasa.
Perjuangan untuk mencapai keadilan adalah juga peristiwa berdarah. Banyak orang harus mengorbankan diri, keluarga, harta dan lain-lain hanya untuk menegakkan keadilan. Hal ini tampak dalam kisah Sokrates yang mati demi memperjuangkan keadilan. Di Indonesia, tokoh seperti Munir, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan korban dari upaya menegakkan keadilan. Pelemahan secara sengaja investigasi hukum atas kasus Munir pun menunjukkan wajah ganda dari proses penegakan keadilan di negara hukum, seperti Indonesia.
Semua fenomena mengenai kejanggalan penerapan hukum sebagai sarana menuju keadilan mendorong setiap orang untuk mengkritisi tujuan diberlakukannya hukum. Dalam catatannya, Bismar Siregar menulis, "Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan."
Fenomena penegakan hukum (law enforcement) yang tidak adil selalu menjadi panorama dunia peradilan. Lembaga hukum dengan institusi pengadilan tidak lagi memutuskan persoalan sesuai dengan prospek yang didambakan bersama -- tercapainya kebaikan bersama. Hal ini ditengarai oleh konstruksi konsep keadilan yang masih dipengaruhi oleh unsur kepentingan kelompok tertentu, kesalingterhubungan antara politik dan hukum, pengaruh kuasa, serta minimnya pengetahuan akan hukum itu sendiri.
Keadilan adalah pusat penilain etis berdasarkan situasi masyarakat dalam entitas sosial. Hal ini berarti bahwa keadilan selalu mengakomodasi kehendak rakyat -- rasa keadilan. Keadilan selalu berkaitan dengan situasi di mana masyarakat berdomisili. Maka, keadilan selalu dilihat sebagai sebuah peristiwa yang sejatinya tidak pernah terulang dan diturunkan dari institusi mana pun.
Maka, pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam menghadirkan keadilan dituntut untuk dijadikan sebuah keputusan. Di sini, hukum sebagai sarana mencapai keadilan dipertanyakan. Apakah keputusan yang dijatuhkan oleh pihak penegak hukum -- dalam hal ini hakim -- adalah adil karena berdasarkan hukum ataukah keadilan itu sendiri dapat ditemukan di luar institusi bernama hukum? Dalam situasi seperti ini, dekonstruksi atas konsep keadilan ditelusuri oleh Jacques Derrida.
Pembakuan rezim makna yang dikenakan atas konsep keadilan mendorong Derrida untuk menemukan cara lain dalam menunjukkan apa itu keadilan. Dalam bukunya Force of Law: The Mystical Foundation of Authority, Derrida berusaha mendekonstruksi konsep keadilan dengan bantuan teks-teks Blaise Pascal, Montaigne, dan Walter Benjamin.
Kebiasaan menyamakan hukum dan keadilan adalah awal dari keruntuhan fondasi hukum. Apa yang diputuskan oleh institusi hukum selalu menjadi kaidah keputusan adil. Dalam dialog Politeia, Plato merumuskan pemikiran ini dalam bahasa seorang sofis. Thrasymachos, seorang sofis, berpendapat bahwa keadilan adalah keuntungan bagi yang lebih kuat.
Hal ini berarti bahwa keadilan adalah konsep tatanan yang terkait dengan kepentingan para penguasa. Kelihaian yang dilakukan oleh para penguasa untuk memanipulasi hukum dan merekayasa keadilan akan lebih mengesankan di mata rakyat, dan darinya keadilan yang dimanipulatif ini, akan lebih berdaya daripada keadilan yang sesungguhnya.