Perang kata di dunia maya telah menjadi hal yang lumrah dikeker mata dan gerah dikuping warga dunia. Remah-remah kata yang dilemparkan ke layar perjumpaan hyperrealitas ini telah banyak memakan korban. Dengan kata lain, realitas direkayasa menjadi semakin real dari yang real dengan berkuasanya rezim kata. Suhu kata pun menjadi semakin panas di dunia maya.
Menilik postingan di dunia maya, jumlah jajakan kata lebih banyak daripada gambar atau foto. Kata-kata yang disajikan ke jutaan mata dunia, umumnya memancing insting dan perasaan seseorang--kadang menaikkan suhu darah militer seseorang.
Kata-kata Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, sering masuk daftar kata terlaris di pasar maya. Banyak warga daring begitu cepat digiring oleh cuitan-cuitan Trump di twitter atau situs-situs lainnya. Selain Trump, orang yang juga disoroti oleh kata-katanya yang frontal adalah Basuki Tjajhja Purnama, Gebernur DKI-Jakarta (non-aktif).
Basuki bahkan dihujani kritik, fitnah, dll., hanya karena diksi yang dilontarkannya secara verbal. Fenomena iklim ups-down kata seperti ini menunjukkan bahwa kata sejatinya bukanlah barang mati. Ia adalah memori, file yang bisa diakses, ada yang tidak meruang dan mewaktu, serta menjadi bahan dasar penciptaan realitas dan ulasan fakta.
Di era 4G, kata-kata begitu mudah diadopsi, dibanderol (seperti #omteloletom), digelinding dan direkayasa membentuk sebuah opini. Banyak kasus di zaman sekarang mencuat hanya karena penggunaan kata.
Suhu kata, dengan kata lain lebih tegar berada di posisi panas--memprovokasi, menghujat, memfitnah, menyebar teror dan memecah-belah. Suhu ini tentunya memperlihatkan karakter manusia yang hidup di zaman sekarang--manusia berada dalam ancaman global warming, lapisan ozon menipis, es di kutub mencair dan pembunuhan hetero-ekosistem.
Tanda-tanda alam ini lalu menjadi nyata dalam sikap manusia 4G yang ditandai dengan gampang terprovokasi, menipisnya moral dan daya kritis dalam mengurai kata, melelehnya luka-luka masa lalu dan berujung pada saling terkam (homo homini lupus).
Pada zaman Yesus, hukuman rajam sering dilakukan orang-orang Yahudi untuk mengadili mereka yang melanggar hukum. Alat yang dipakai untuk merajam adalah batu, dengan tujuan si pelanggar hukum tidak berdaya dan bahkan ditiadakan.
Di zaman sekarang kebiasaan merajam sesama juga sering terjadi. Batu kini berubah menjadi kata-kata. Kata-kata yang dipakai untuk merajam seseorang meninggalkan bekas dan luka-luka yang yang tak terbendung sejarah.
Arsip kata mengontrol orang untuk bisa belajar berubah sekaligus menekuni pengalaman merajam itu sendiri secara permanen. Wujud nyata dari persalinan kata-kata yang lahir dan dirangkai zaman sekarang adalah hoax. Tren berbasis kata ini menyisir warga daring dengan memproduksi kebohongan, fitnah dan rekan-rekannya secara bergantian.
Tentunya kita tidak diam dengan iklim kata zaman sekarang. Hemat saya, sikap kritis dalam mengurai kata adalah hal yang jamak dilakukan untuk menangkal gelombang kata berwajah hoax.