Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Mencicipi Kuliner Rasa Nama-nama Aneh, Serem, dan Geli

Diperbarui: 11 Oktober 2020   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Bakso Setan. "Ayo, mampir ke warung Bakso Setan!" Ketika membaca tulisan ini, pikiran saya langsung terarah pada hal-hal aneh, kayak menu sajian horor, setting tempat dan suasana yang menakutkan, penokohan yang serem -- dimana ada para pelayan berkepala tiga yang sarat unsur horor -- serta beragam hal lainnya yang menggambarkan setan itu sendiri. Benarkah demikian? Kita cek!

Ketika saya crosscheck, eh padahal, semuanya di luar dugaan saya. Tak ada setan di sekujur tempat itu. Baksonya seperti biasa. Pentol dan mie-nya juga, seperti di tempat-tempat lain. Hanya nama yang memberi sedikit warna. Penamaan menyita perhatian dan membuat orang penasaran. Ini strategi marketing nama pada brand jenis kuliner. Prospeknya, biar laku, laris, dan menarik costumer. Singkatnya, kita dibuat penasaran.

Ya penasaran. Ini salah satu strategi "branding." Jika tak dikemas demikian, apa bedanya sama sajian bakso di tempat-tempat lain. Jika tak mampu membuat hal yang baru (baik dari segi kualitas menu sajian), maka strategi bisnis lari ke stan penamaan. Pemberian nama merupakan salah satu peluang bisnis. Nama yang biasa-biasa saja, justru memaku langkah dan imajinasi konsumen 'tuk merapat. Bener gak? Kalian pasti penasaran kan sama daftar menu bertajuk "Susu Kembang Perawan." Namnya memikat perhatian. Ketika disaji, eh, cuman gini.

Tak hanya di lapak makanan, seperti bakso. Di beranda bisnis lainnya hal serupa juga dilakukan. Jual nama. Misalnya, di kedai minum, daftar menu juga kadang memakai strategi nama. Katakanlah, kopi hitam yang dibanderol harga Rp 3.000 per gelas, ketika diubah menjadi "Black Coffee" justru berubah harga menjadi Rp 7.000 per gelas. Keren kan? Atau ayam goreng dengan harga Rp 8.000 per porsi, berubah menjadi Rp 15.000 per porsi ketika berganti nama menjadi "Fried Chicken."

Penamaan produk memang laris dijual. Nama memberi "bobot extra" pada produk yang dijual. Hal ini sering terjadi dalam kelola kamus Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, Prancis, atau Italia. Ketika brand produk diberi nama asing, kualitas elegan produk juga ikut berubah. Kita menjadi terasingkan dari produk yang diberi nametag asing. Orang pun akan berburu menu yang diberi nama asing tersebut. Kasian sama produk yang hanya dibaptis dengan bahasa ibu. Iya kan? Pasti kalian sering berburu yang asing dan "bule-bule" gitu.

Selain penamaan dengan hal yang "khas bin aneh," strategi bisnis juga kadang memperlihatkan kekerasan melalui produk-produk yang dijual. Kalian mungkin tak sempat membayangkan nama menu, seperti "Ayam Geprek" atau "Ayam Penyet," ketika diolah. Bayangin ayam digeprak-geprek. Sadis banget!

Nama-nama ini sungguh menyeramkan. Ayam digeprek-dipenyet, kasian banget ayamnya. Kita hanya melahap dan sesekali berkomentar: "Ayamnya, enak banget." Kita lupa dan hampir tak pernah memikirkan bagaimana sakit dan derita yang dialami ayam saat digeprek. Untung tak ada menu "Ayam dismackdown." Bayangin kalo ada. Model menunya seperti apa.

Bagi Fariz Alnizar dalam tulisannya di kolom bahasa majalah "Tempo," semua ini menggambarkan betapa kekerasan itu dekat sekali dengan manusia. Menurutnya, bahasa kekerasan seringkali diperlihatkan dan dipergunakan oleh pangsa pasar kuliner. Mungkin ini bisa menjadi sebuah ruang baik bagi kita 'tuk sejenak berefleksi: "Kenapa bahasa kekerasan laku dijual dan diminati?"

Dari bakso setan, bakso beranak, "black coffee," hingga ayam yang digeprak-geprek, kita dihadapkan pada sebuah situasi yang aneh. Pertama, umumnya, orang tak suka sesuatu yang biasa. Maunya yang mengugah. Aneh tepatnya. Kedua, orang lebih suka yang berbau asing, barat gitulah. Lebih asing, lebih diminati dan berdaya jual. Kasian nama-nama yang lahir dari rahim Pertiwi. Dan, ketiga, orang masih meminati sesuatu yang berbau kekerasan. Ini yang terjadi saat ini. Kita lupa dan kadang tak sadar. Bahkan, kita sempat menikmatinya (tontonan kekerasan) setiap saat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline