Kita hampir menutup September. Kita berada di penghujung. Tetap siaga. Tak banyak hal yang bisa dibuat. Semua berhenti di jarak. Jarak yang paling jauh adalah sejarah. Seperti dari cerita mulut ke mulut. Dari cerita buku sejarah. Dari cerita saksi sejarah yang masih segar mengingat konon. Adalah 30 September. Ada bingkisan yang tak sempat diurai. Teruntuk 30 September 2020, kita berhenti di tunduk dan hening.
Hari ini, 30 September 2020, ada peristiwa sejarah yang segar disadap ingatan. Konon diceritakan ada beberapa Perwira dan Panglima negeri ini diculik secara paksa, dihabisi, lalu dibuang ke lubang buaya. Para penculik menamakan diri Gerakan Komunis Indonesia. Mereka terafiliasi dalam satu ikat bertajuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Usaha mereka menggulingkan Kepemimpinan Soekarno meluap di ufuk September 1965. Peristiwa ini pun mengingatkan kita pada ucapan Bung Karno: "Kalian akan berperang melawan penjajah dari dalam rumah sendiri (Indonesia)."
Usai peristiwa ini, Indonesia mendeklarasikan upaya bersih-bersih PKI. Soekarno pun memerintahkan Panglima Tinggi Suharto agar segera tuntaskan semua institusi, gerakan, organisasi, kelompok, dan orang per orangan yang terbukti mengidap gen PKI. Dari pusat sampai daerah, dari hulu sampai hilir, dari ruang tamu sampai kamar tidur, semuanya digeledah dan dilaser bersih-bersih PKI. Upaya penumpasan G-PKI ini diback up emosi berdarah. Lubang-lubang menganga dengan jenazah tertumpuk, digali dan dilupa ingat.
Selama bertahun-tahun, peristiwa ini ditutup hening. Rasa geram terhadap PKI bahkan mengular hingga sekarang. Orang tak berani mengulas, menarasikan, apalagi mempersalahkan mereka yang dilabeli PKI. Pertanyaan soal siapa-siapa saja penumpas PKI, hampir terkatup. Semua orang membenci PKI. Akan tetapi, isak tangis dari keluarga korban yang "dilabeli" PKI berhenti di kenangan. Terlanjur emosi. Terbawa amukan massa. Ya, siapa pun dia, terbukti mengidap label PKI, wajib ditiadakan.
Dari sisi korban pembantaian PKI, ada keluarga, anak, isteri yang mengutuk dan mengecam kekejian yang dilakukan PKI. Beberapa anak Panglima Tinggi, gagap ketika diminta menarasikan peristiwa yang menimpa orangtua mereka. Sejarah memotret dengan saksi mata. Akan tetapi, setting-nya dalam hening. Dalam senyap. Di tengah malam. Malam kalbu. Anggota PKI menangkap target dalam senyap. Usai pembantaian PKI, kita lelap dalam senyap. Dimakan rayap tak tahu kuburnya di mana.
Apa yang terjadi di hari ini adalah latar suasana bertajuk hening. Portal berita sekalipun , bahkan tak terlalu menaruh simpati 'tuk mengulas peringatan hari ini.Tak seheboh pernyataan Ahok. Kita semua dibuat hening. Bungkam. Apakah ini bagian dari mengheningkan cipta 'tuk menolak melawat sejarah? Ataukah, ada isu yang tengah digelinding dan sengaja dibredel dengan cara bungkam dan hening? Kita tak tahu pasti. Yang pasti, saya tahu, hari ini, bangsa ini mengenang peristiwa G30S/PKI.
Sejak menyentuh demokrasi, dendam kesumat, pedih, duka, air mata, dan uneg-uneg pribadi dan uneg-uneg keluarga meluap. Dari keluarga korban PKI, investigasi digalak. "Di mana mereka dikuburkan? Ayah saya tak tahu apa-apa soal PKI" Menurut Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP '65) Bedjo Untung, PKI merupakan korban pembantaian 1965. Bedjo mengklaim, rakyat kecil yang dialiri gen PKI dan tak tahu apa-apa soal PKI yang memberontak, adalah korban. Lalu, bagaimana?
Kembali ke senyap, hening, dan bungkam. Pelaku sejarah tak banyak berkomentar. Saya dan Anda yang hanya menyimak peristiwa G30S/PKI dari testimoni arsip tulis, hanya mengumpulkan data. Pertanyaannya: "Mengapa toh orang berani mempertanyakan pembantaian besar-besaran yang menimpa mereka yang disebut PKI saat ini?" Kenapa baru sekarang, ada orang yang mengadu? Sekali lagi, kita dihimpit jawaban. Tak jauh dari hening.
Hampir di pelupuk September, malam tak memberi isyarat bunyi. Tak ada. Satu-dua komentar sempat muncul di kolom opini Kompas soal "Rekonsiliasi Terkait G30S/PKI." Akan tetapi, tak seperti peringatan-peringatan yang biasa merapat di ingatan bangsa ini, hari ini justru dikubur tak berita. Kita mengakhiri September dengan keluhan, namun kosong. Mengadu dan tak ada jawaban. Ini bagian dari merayakan hari selebrasi. Menjemput Oktober dan melepas September dalam hening.
Sempat muncul titik gempa untuk sedikit memberi sinyal pada momen perayaan hari ini. Goncangan ini, dibuka oleh Gatot Nurmantyo. Gatot menggeledah dalam aksi. Aksi yang diberi nama "Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia" (KAMI) ini pun sempat menggoncang panggung hening. Terus hilang, tak ada kabar. Sempat dibubarkan saat menggelar Silaturahmi Akbar, KAMI memberi "warning" tentang bahaya komunisme gaya baru. Jika tak direspon dengan hening, pasti gemanya tak sesenyap ini.
Mari melepas September dengan catatan!