Memperjuangkan kita adalah salah satu monumen sejarah yang tak luput dicatat. Kita lahir dari rahim sejarah, diberi makan oleh sejarah, hidup dalam rangkaian cerita sejarah, memperingati sejarah, sekaligus tengah menulis catatan sejarah. Dalam formasi 75 tahun Kemerdekaan Bangsa dan Negara ini, kita pun tak luput dari cerita sejarah. Maka, Bung Karno mengingatkan: "Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!" Jasmerah.
Akhir-akhir ini, sejarah kembali ditelisik, diangkat ke permukaan, dan disaji dengan sedikit serem. Memang, jika menoleh ke belakang, sejarah sejatinya tak pernah luput dari yang namanya keberingasan, perjuangan, keringat, darah, dan mayat. Kita mengais catatan sejarah, menguliti, dan berusaha membedah sedemikian rupa, biar tetap menetap di benak. Di penghujung September ini, renungan detik-detik peristiwa sejarah di Bumi Pertiwi ini akan diputar ulang. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Generasi saya memang tak sempat mengalami bagaimana detik-detik G30S/PKI ini terjadi. Ada saksi mata yang benar-benar mengalami, menyaksikan langsung, histeris, dan ikut terlibat. Akan tetapi, saya bersyukur, sejarah merangkum, menyimpan, dan selalu menyajikan kapan saja ketika diminta untuk direplay. Bagi sebagain orang, terutama korban serta keluarga korban, peristiwa ini sebaiknya tak perlu diingat kembali. Tapi, mungkinkan sebuah peristiwa akbar dan menyentuh nurani dan kemanusiaan itu tergeletak tanpa sentuhan ingat?
Pada, Senin, 28 September 2020, diberitakan bahwa ada ratusan warga yang mengatasnamakan "Surabaya Adalah Kita," melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Juang 45, Jl. Mayjen Sungkono, Surabaya. Menariknya, aksi ini berbarengan dengan agenda Silaturahmi Akbar "Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia" (KAMI). Kala itu, KAMI mengusung tema "Mengantisipasi Bangkitnya Komunisme Gaya Baru" (dikutip SuaraJatim.com). Informasi ini tentunya membuat kita deg-degan. Soalnya, peristiwa ini terjadi di malam detik-detik menjelang peringatan peristiwa G30S/PKI.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada beberapa hal yang perlu direnungkan sekaligus dibedah dalam peristiwa ini. Pertama, soal KAMI yang getol mengkampanyekan rasa simpati dan empati terhadap negeri ini. Kedua, ada tandingan regional yang menyebut kekuatan yang sama, tapi dengan maskot KITA. Yang ketiga, tajuk agenda silaturahmi "Antisipasi Bangkitnya Komunisme Gaya Baru." Ketiganya, hemat saya, memberi pesan: adu kekuatan. Kami dan kita mengantisipasi bangkitnya komunisme gaya baru.
Pertanyaannya: "Apakah sebetulnya yang terjadi dengan negeri ini?" Apakah Indonesia tengah mengarah ke Komunisme Gaya Baru?" Dari sudut mana? Apa yang dimaksud dengan "Komunisme Gaya Baru?" Tanyakan kepada KAMI, bukan KITA. KAMI merasa bangsa dan negara ini perlu diselamatkan. Diselamatkan dari apa? Resesi? Badai pagebluk? Atau apa? Jika tak jelas arahnya, isu-isu demikian justru menurunkan stamina bangsa di tengah perang melawan pandemi Covid-19 ini.
Gerakan KAMI adalah sebuah keperihatinan. Akan tetapi, di balik keperihatinan ini, seharusnya cara-cara yang bijak selalu diutamakan. Pada saat silaturahmi kemarin, dilaporkan juga bahwa kegiatan pengumpulan massa tak disertai protokol kesehatan yang seharusnya. Hal ini disampaikan oleh Kapolsek Sawahan AKP Wisnu Setiyawan Kuncoro. Karena tak sesuai protokol kesehatan, perkumpulan ini kemudian dibubarkan secara paksa.
Menjelang peringatan G30S/PKI, nuansa keributan dan adegan-adegan yang tak mendukung penanganan pandemi Covid-19 mencuat. Bahkan isu kebangkitan PKI sempat muncul.
Isu ini mencuat berawal dari pernyataan Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Dalam saluran YouTube Hersubeno Point, Gatot mengatakan bahwa Gerakan Partai Komunis Indonesia tidak bisa dilihat bentuknya, akan tetapi bisa dirasakan.
Menjelang peringatan G30S/PKI, kita justru mengumbar isu-isu yang tak menenteramkan. Jika memang isu kebangkitan komunisme gaya baru memengaruhi sebagian masyarakat, hal ini bisa jadi memperparah situasi bangsa dan negara ini. Isu ini dibuat saat negeri ini tengah diserang wabah mematikan. Isu ini dibuat ketika ekonomi bangsa dan negara ini melemah. Isu ini mencuat ketika daya imun negeri ini menurun. Pada tahap ini, ke-KITA-an bangsa ini justru dipertanyakan.
Apa yang mungkin kita lupa adalah soal rasa syukur. Bersyukur karena negeri ini sangat membantu proses pemulihan kesehatan, ekonomi, pendidikan, hukum-politik, toleransi, dan kemajemukan. Jika memang negara egois, mungkin tindakan-tindakan pertolongan di semua lini tak mungkin dilakukan. Negara sudah banyak berkorban. Tugas kita, tinggal mendukung. Bukan dengan mengangkat isu kebangkitan komunisme. Biar apa?