Jalan terjal gas-rem pilkada tengah pandemi berujung maya. Mau gaspol, eh takut sama paduan suara lini kesehatan. Mau rem, kasian juga. Soalnya, udah panas, alat-alat kampanye sudah pada berkeringat. Ya gimana lagi? Jika kerja dan sekolah semuanya sudah daring, kampanye juga pasti bakal ikut-ikutan nih. Kampanye daring plus nyoblos daring (e-vote).
Maka, perlu ekstra persiapan. Medsos siap-siap banjir kata. Paslon siap-siap make-up biar tampil memukau saat tengah nge-live. Waktu pertemuan webinar mulai dijadwalkan.
Tim buzzer siap-siap kelola konten biar memengaruhi opini warganet. Cari caption menarik dan hastag viral. Mulai dekati youtubers (yang banyak followersnya). Jangan lupa nge-vlog juga.
Persiapan lainnya. Siap-siap dihujat oleh warganet. Siap-siap melihat meme yang memancing emosi. Siap-siap foto editan beserta caption seru memenuhi akun tim kampanye dan paslon.
Siap-siap mendapat sms, chatt, komentar, dan pesan yang isinya bisa saja memuji, menghujat, memfitnah, mengancam, dll. Siap-siap duit buat beli data. Juga siap-siap emosi-psikis biar tak terganggu karena ulah warganet.
Selama 70 hari ke depan, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta pansernya akan memulai masa tour #tourpilkadapaspandemi.
Di tengah pandemi, para kandidat diharapkan untuk mengubah cara berkampanye. Kerumunan dihindarkan. Rapat akbar dibubarkan. Konser musik juga ditiadakan. Lah, terus yang diperbolehkan? Kampanye daring.
Undang-undang menganjurkan kampanye daring. Pasal 58 ayat 1 tentang Kampanye Daring Pilkada 2020 berbunyi demikian: "Partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, serta tim kampanye mengutamakan metode kampanye terbatas dan dilakukan melalui media sosial dan media daring." Sepertinya seru. Seru lempar-lempar kata, foto, dan video.
Apa yang mungkin terjadi ketika kampanye dilakukan dengan metode daring? Potensi persoalan terbesar adalah munculnya politik "haters" dan "lovers." Kombinasi "haters" dan "lovers" biasanya lebih frontal, tak santun, bringas, nihil tata krama, penuh fitnah, saling hujat, dan akrab dengan hoax. Lalu, siapa yang menjamin metode kampanye daring pada pilkada tahun ini? Tak ada.
Menariknya, kampanye daring, jika ditelisik ke history pemilu, sudah banyak memengaruhi suara elektoral dalam berbagai ajang pesta demokrasi.
Di Amerika Serikat, misalkan, pada periode Presiden Barack Obama, hampir semua portal berita, media online, dan media sosial dikerahkan untuk berkampanye. Pada periode Donald Trump, kampanye rasial, anti-muslim, dan anti-imigran sukses diobral media sosial dan daring.