Lihat ke Halaman Asli

Perbandingan Cerita Rakyat

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ASAL-USUL NAMA KOTA WELERI

Tumenggung Prawiro Setyo atau yg lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambong adalah salah satu petinggi Mataram yg mengikuti pertemuan di Paseban Kemangi dalam rangka persiapan menyerang VOC di Batavia.

Sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya, Pangeran Sambong tidak diperkenankan kembali ke Mataram. Sekembalinya dari Batavia, ia kembali bertapa dan melanjutkan perjalanan ke barat dan menjadi masyarakat biasa (meninggalkan gelar tumenggung). Tetapi masyarakat sudah banyak yang tahu bahwa Pangeran Sambong adalah salah satu tokoh Mataram yang ikut berperang melawan Belanda di Batavia.

Selain Pangeran Sambong, juga ada tokoh lainnya yakni Bah Brontok (seorang tokoh keturunan Cina) yang mana keduanya adalah sama-sama murid Tumenggung Rajekwesi (Ki Ageng Kemangi). Keduanya bertolak belakang dalam menempatkan tujuan belajar pada Ki Ageng Kemangi. Pangeran Sambong cenderung pada aliran putih sedangkan Bah Brontok lebih cenderung ke aliran hitam.

Pangeran Sambong dan Bah Brontok bisa di ibaratkan bagai minyak dan air walaupun sama-sama murid Ki Ageng Kemangi. Alkisah menyebutkan kalo suatu hari Bah Brontok melakukan adu ayam dengan Pangeran Sambong. Ayam petarung Pangeran Sambong berwarna merah penatas sedangkan ayam Bah Brontok berwarna jali. Tempat beradunya ditentukan di daerah Cakra Kembang dekat sungai Kutho. Orang tidak berani melihat dari dekat, tetapi dari jauh di tempat yang agak tinggi, tempat itu sekarang dinamakan Tegalan Sedengok.

Setelah usai adu ayam, keduanya selalu memandikan ayamnya di sungai dekat Cakrakembang sekarang. Oleh masyarakat sungai itu dinamakan Kali Jenes (kotor).
Bah Brontok sering melakukan kecurangan-kecurangan dalam adu ayam. Maka Pangeran Sambong juga melakukan hal yang sama. Pada salah satu kaki ayam milik pangeran Sambong diberinya tutup kaki yg terbuat dari bambu, dengan demikian warna kulit ayam itu menjadi tidak sama. Oleh karena itu di Dukuh Bojengan, yang letaknya tidak jauh dari Cokrokembang itu, bila ada ayam yang berwarna kulit kedua kakinya berbeda, di yakini bahwa ayam itu milik Pangeran Sambong.

Dua tokoh itu juga punya tempat padepokan yang tidak jauh. Pangeran Sambong berada di tempat yg bernama Sambong atau hutan Sambongan, sedangkan Bah Brontok tinggal di Alas Buntu Krengseng. Sekarang dikenal dengan sebutan Randu Sigunting karena pohon randu yang tumbuh bercabang seperti gunting.

Pangeran Sambong mempunyai pengikut setia, mereka adalah Bagus Wuragil dan Denowo. Sebelum Pangeran Sambong ada tokoh wanita yang sebelumnya datang di tempat itu. Mereka adalah Nyai Wungu dan Nyai Damariyah. Pertemuan Pangeran Sambong dan dua tokoh wanita yang sebelumnya pernah bertemu di suatu tempat sebelum tinggal di daerah barunya itu ternyata membawa berkah. Tempat pertemuannya dinamakan sambung yg berarti bisa menyambung persaudaraan kembali.
Dikisahkan kalo Nyai Damariyah atau Sri Pandan adalah sosok wanita cantik yg diperebutkan oleh ke dua pengikut Pangeran Sambong yakni Bagus Wuragil dan Denowo.

Nyai Damariyah sebetulnya lebih condong ke Bagus Wuragil. Tapi karena keduanya adalah sama2 pengikut Pangeran Sambong maka Nyai Damariyah merasa gelisah dan memilih hidup bersamama Nyai Wungu.

Selanjutnya, Nyai Damariyah di nasehati oleh Pangeran Sambong dan Nyai Wungu, bahwa Nyai Damariyah ingin tenang dari perebutan dua orang yang sama-sama menjadi sahabatnya, lebih baik Nyai Damariyah pergi ke tempat Ki Sidomukti yang letaknya di sebelah timur Sambongan.
Ki Ageng Sidomukti sangat prihatin karena perseteruan dua sahabat Nyai Damariyah yang memperebutkan Nyai Damariyah. Oleh Ki Sidomukti, Nyai Damariyah diperintahkan untuk mencuci beras. Sebagaimana biasanya tempat mencuci beras itu dilakukan di sungai. Di beritahukan oleh Ki Sidomukti bahwa ketika Nyai Damariyah mencuci beras, maka telusurilah di mana letak berhentinya air cucian beras itu. Di tempat berakhirnya air pesusan itulah Nyai Damariyah bisa hidup tenang dan tidak akan diganggu siapapun.
Air pesusan beras itu disebut orang dengan nama "Leri". Ketika Nyai Damariyah menelusuri di mana berhentinya air leri itu, ternyata berhenti tepat di bawah dua pohon pandan yang tumbuh berdampingan, dan ada pohon Lo disekitarnya. Karenanya, di kemudian hari desa itu akhirnya dinamakan Weleri. Sedangkan nama pohon Lo pada waktu itu banyak disebut orang dengan nama pohon Cangkring. Sehingga daerah disekitar pohon Lo itu sekarang dikenal dengan nama Penyangkringan. Sedangkan Nyai Damariyah dipanggil banyak orang dengan nama Nyai Pandansari atau Sripandan. Sedangkan sungai yang menjadi tempat mencuci beras akhirnya dikenal dengan nama Kali Damar.

LEGENDA BANYUWANGI

Asal mual, Sidurejo adalah seorang raja yang sangat berkuasa. Ia dibantu oleh seorang patih bernama Sido Pekso. Istri Sido Pekso sangat cantik. Akan tetapi, Ibu Sido Pekso menyimpan rasa dendam kepada menantunya.
Suatu hari Ibu Sido Pekso berniat untuk menyingkirkan istri Sido Pekso dari lingkungan keluarga. Ibu Sido Pekso lalu merayu raja, ”Baginda, jika ingin Permaisuri tetap cantik dan awet muda, simpanlah sekuntum bunga. Tapi, bunga itu harus diambil di puncak Gunung Ijen.”
Rayuan Ibu Sido Pekso menarik perhatian raja. Patih Sido Pekso lalu diutus ke Gunung Ijen untuk mengambil bunga. Syarat yang harus dipenuhi Sido Pekso adalah tidak boleh pulang sebelum menemukan bunga tersebut.
Sido Pekso pun berangkat. Pada saat itu, istrinya sedang hamil muda. Selama Sido Pekso menjalankan tugasnya itu, istrinya selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari mertuanya. Akan tetapi, istri Sido Pekso tetap tabah.
Beberapa bulan kemudian, istri Sido Pekso melahirkan seorang bayi laki-laki. Ibu Sido Pekso semakin benci. Ketika istri Sido Pekso tidak berada di rumah, bayi yang tak berdosa itu dilemparnya ke sungai yang ada di samping rumahnya.
Akhirnya, Sido Pekso berhasil pulang membawa bunga. Sebelum menyerahkan bunga kepada raja, Sido Pekso mendapat laporan dari ibunya bahwa anaknya dibuang ke sungai oleh istrinya. Sido Pekso marah. Ia mengambil keris di pinggangnya untuk membunuh istrinya.
“Ampun, Kanda! Dinda rela dibunuh. Akan tetapi, bawalah Dinda ke pinggir sungai. Di sana akan kita buktikan, siapa sebenarnya yang bersalah,” pintanya.
Sido Pekso memenuhi permintaan istrinya. Ketika berada di tepi sungai, istri Sido Pekso berkata, “Setelah Kanda membunuh Dinda, buanglah tubuh Dinda ke sungai. Tunggulah beberapa saat. Jika air sungai berbau busuk, Dindalah yang bersalah. Tapi, jika airnya berbau wangi, bukan Dinda yang bersalah.”
Sido Pekso melampiaskan amarahnya. Tubuh istrinya dibuang ke sungai dan hanyut seketika. Selang beberapa saat, bunga kecil berkata, “Ayah, akulah anakmu. Aku dibuang oleh ibumu ke sungai ini. Ayah, aku bahagia dapat bertemu ibuku yang tidak berdosa ini.”
Usai berkata demikian, dua kuntum bunga tersebut hanyut. Bersama dengan itu, air sungai berubah menjadi jernih dan mengeluarkan bau wangi. Sejak saat itulah, sungai tersebut dan wilayah di sekitarnya disebut “Banyuwangi”.

Pembahasan

Dalam membicarakan tema yang terkandung dalam kedua cerita ini, tercakup masalah perwatakan tokoh utama cerita yang menggambarkan kepribadiannya. Kedua kajian bandingan sastra berikut ini akan membandingkan sastra lisan yaitu cerita rakyat yang berasal dari kota Weleri dan dari kota Banyumas.

Kedua cerita rakya ini memiliki kesamaan pada tema yang diusung. Kedua cerita ini menceritakan tentang mitos keajaiban sungai yang memiliki kekuatan magis. Pada cerita I menggambarkan bahwa dalam mencari petunjuk untuk mendapatkan jawaban dimana Nyai Pandansari ingin tinggal, Nyai Damariah melakukan semacam ritual yaitu mencuci beras di sungai kemudian air cucian yang disebut sebagai “leri” mengalir dan menunjukkan tempat untuk tingal Nyai Damariah. Sedangkanpada cerita rakyat yang ke-2 memiliki kesamaan pada mitos sungai, sungai digunakan sebagai petunjuk dalam menentukan suatu kebaikan. Selain itu pada kedua cerita rakyat tersebut diceritakan bahwa percintaan antara wanita dan pria, yang menjadi penyebab adanya konflik. Penggalan cerpen di atas kita dapat menyimpulkan bahwa asal-usul nama sebuah desa yang berawal dari keberadaan sungai/air.

Perbedaan pada kedua cerita ini adalah pada cerita 1 diceritakan bahwa seorang wanita yang memiliki kehendak dan kemampuan untuk menentukan sikap. Sedanagkan pada cerita 2 diceritakan bahwa seorang wanita yang setia dan ingin membuktikan kesetiaanya kepada suami yang dicintainya.

Jalan cerita pada kedua cerita rakyat tersebut nyaris sama. Namun, terdapat beberapa kejadian yang telah diceritakan pada cerita di atas yang menjadikan kedua cerita tersebut memiliki perbedaan. Bagaimanakah dapat terjadi persamaan-persamaan dan juga perbedaan-perbedaan antara dua cerita yang jauh tempat keberadaannya, Weleri ada di Jawa Tengah sedangkan banyuwangi ada di Jawa Timur.Menurut saya hal ini bukan dikarenakan peniruan, tetapi karena cerita dengan tipe dan motif serupa yang lahir di tempat yang berbeda dan wajtu yang berbeda.Hal ini sering kita kenal dengan istilah Polingenesis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline