“Musim semi datang dan pergi
Di tengah negeri kincir angin
Mungkin aku dikelilingi oleh jutaan jiwa
Namun ku tetap merasa sendiri
Aku hanya ingin kembali
Aku meindukanmu ibuku terkasih”
Sepenggal puisi pada halaman 176 dari buku puisiku. Suatu cara terbaik untuk mengungkap bagaimana perasaaanku yang sesungguhnya. Ya benar, mungkin tidak semua perasaan dapat ku terjemahkan, namun setidaknya aku sedikit lebih lega saat melukisnya dalam kata-kata indah dalam puisi.
***
Aku adalah gadis rumahan yang tinggal bersama ibuku saja, ayah telah lama meninggal ketika aku masih berumur lima tahun. Orang-orang biasa memanggilku Alen. Aku adalah anak tunggal, jadi aku tidak punya saudara yang bisa aku ajak untuk berbagi cerita layaknya gadis-gadis lain. Aku hanya bisa menceritakan semua yang aku rasa kepada ibu dan ke dalam buku.
Pagi yang cerah dengan silauan mentari yang merekah dari ufuk timur serta diiringi dengan kabut pagi yang menusuk pori-pori tubuh. Aku mendengar suara burung pipit yang bernyanyi seakan ingin membangunkanku dari tidur. Sedikit aku membuka mata, aku lihat di jendela sang mentari sudah menyambut pagiku, aku lekas berdiri dan pergi ke kamar mandi. Aku membasuh wajah dengan percikan air yang entah mengapa pagi itu terasa sangat dingin. Aku mencium aroma sedap dari luar kamar dan segera mencari sumber dari mana aroma itu berasal. Aku melihat sosok cantik menyapaku dengan senyumannya yang indah dibalik pintu kaca yang berdiri tegak. Ya benar, itu adalah ibu. Nampaknya dia sedang menyiapkan sarapan untukku.
“ Apakah kamu sudah lapar, nak? “, bertanya dengan suara indah.
“ Tentu saja ibu, aroma masakanmu tercium sampai di kamarku. Aku ingin segera menghabiskan makanan yang ibu masak. “, jawabku penuh semangat.
“ ya sudah, mari kita makan bersama” , ajak ibu lembut.
Sarapan bersama adalah sebuah tradisi yang kami lakukan setiap pagi dan tidak pernah sekalipun kami lewatkan. Pagi itu, ibu memasak nasi goreng ,makanan kesukaanku. Aku sangat menyukainya karena nasi goreng buatan ibu berbeda dengan nasi goreng siapapun dan rasanya sangat lezat. Mungkin ibu mencampurkan bumbu rahasia kedalamnya sehingga kenikmatannya terasa sangat luarbiasa. Aku selalu memakannya dengan lahap sampai perutku terasa penuh. Setelah sarapan, aku dan ibu masih duduk sebentar sembari bercakap-cakap tentang mimpi tadi malam.
Tiba-tiba ibu menarik sebuat amplop coklat dari sakunya dan menyodorkannya kepadaku. Aku terengah. Aku benar-benar penasaran apa isi dari amplop tersebut. Ibu memintaku untuk membuka amplop itu. Lalu aku pun mengambil dan membukanya perlahan. Di dalam amplop tersebut berisi selembar kertas putih dari University College Roosevelt yang menyatakan bahwa aku diterima dalam program beasiswa dan dapat menutut ilmu di negeri kincir angin tersebut. Sontak aku kaget dan bahagia membaca surat. Spontan aku memeluk erat ibu dan tidak sadar aku meneteskan air mata. Ibu juga menangis bahagia sambil mencium keningku. Dia meberikan ucapan selamat padaku dan mengatakan bahwa dia sangat bangga denganku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas karya-Nya yang begitu luarbiasa dalam hidupku.
Kebahagiaan itu memudar seketika. Perasaan tercampur aduk menjadi satu dan hatiku menjadi bimbang. Aku tidak ingin meninggalkan ibu sendirian disini. Aku takut ibu kesepian tanpaku. Namun aku harus memilih keputusan yang tepat. Aku benar-benar tahu bagaimana kondisi perekonomian keluargaku. Aku teringat bagaimana ibu membanting tulang sendiri untuk membiayai hidupku sampai saat ini. Aku juga percaya bahwa kesempatan tidak akan pernah datang dua kali. Dalam bimbangku, ibu membisikkan kalimat di telingaku.