Lihat ke Halaman Asli

Yang Bikin Hutan Gundul Itu Mahasiswa Skripsi, Pak... (Menyoal Tugas Paper dari Dosen dan Budaya Copy-Paste)

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya baru selesai mengerjakan tugas kuliah ketika membuat tulisan ini. Sejenak berpikir, akan dikemanakan puluhan, bahkan ratusan lembar hasil kerja mahasiswa setelah dinilai?

Jujur saya bingung, lebih tepatnya heran, dengan dosen yang selalu memberi tugas dalam hal ini paper─ dengan jumlah halaman yang tak terkira banyaknya. Pertama, apakah itu benar-benar dikoreksi? Lembar per lembar? Kalimat per kalimat? atau sekedar dibuka-buka saja? Kalau jawabannya tidak, aduh! Tolong dong, Pak, Bu, hargai hasil kerja keras kami…

Kebingungan saya yang kedua ada kaitannya dengan hitung-hitungan. Jika seorang dosen meminta mahasiswanya membuat paper dengan jumlah minimal 10 halaman. Dikalikan jumlah mahasiswa dalam satu kelas, misal 1 kelas ada 30 mahasiswa. 30 dikalikan 10 lembar, jadi 300 lembar kan? Nah itu baru satu kelas, katakan seorang dosen mengampu 2 sampai 3 kelas. Berapa rim kertas yang dipakai? Ini baru tugas, saya bahkan belum bicara soal skripsi, kenapa skripsi? Saya membayangkan prosesnya “ngeri” sekali. Misal 1 mahasiswa berhasil menyelesaikan skripsi dengan jumlah minimal 100 halaman, ini belum dihitung dengan revisi sana sini selama proses bimbingan. Katakanlah untuk urusan skripsi beserta revisi dan tetek-bengeknya (penggandaan dsb) dia menghabiskan 5 sampai 7 rim kertas. FYI, satu batang pohon pinus usia 5 tahun hanya menghasilkan kurang lebih 1 rim kertas (Prof. Sudjarwadi, UGM), lantas berapa batang pohon yang sudah ditebang untuk menyelesaikan satu skripsi? Ini baru 1 mahasiswa, nah berapa juta jumlah mahasiswa di Indonesia yang menulis skripsi setiap tahunnya? Berapa juta rim kertas yang dipakai? Berapa juta hektar hutan yang ditebang? Ngeri saya membayangkannya! Tak salah kalau ada yang bilang bidang pendidikan-lah penyokong utama global warming.

Yang lebih menyedihkan, paper-paper hasil jerih payah (dan hasil “menebang pohon”) mahasiswa cuma dibuka-buka saja, tidak dikoreksi betul isinya, kemudian berdebu menumpuk mengenaskan dipojokan perpustakaan. Jangankan dijadikan referensi, dibuka saja tidak pernah. Seorang kawan bahkan pernah melihat skripsi-skripsi mahasiswa yang sudah lama lulus dijual ke tukang loak pffftt… Saya tak hendak menghakimi, namun melihat kenyataan dilapangan yang sedemikian ironis, kebanyakan mahasiswa mengerjakan skripsi asal-asalan, nggak pake hati, beberapa juga cuma hasil jiplakan dan mengandalkan jasa orang lain, tanpa menghasilkan rekomendasi yang bagus bagi dunia pendidikan.

Lantas apa manfaat dosen memberikan tugas sedemikian rupa? Apa manfaat skripsi? Formalitas saja? karena sudah kadung masuk kurikulum? Kalau ada yang menjawab “Kamu kalau mau lulus kuliah ya skripsi dulu, wong dulu saya juga begitu kok. Kalau nggak mau skripsi ya nggak usah kuliah.” Berarti ada yang perlu diubah dari cara berpikir teman-teman. Jika diantara pembaca sekalian adalah dosen, bahkan mungkin dosen yang sering memberikan tugas berwujud paper ─yang sebenarnya tidak betul-betul dikoreksi─ mari kita ubah cara berpikir kita. Tugas paper bisa diganti dengan sesuatu yang lebih ringan dan menyenangkan, bahkan ramah lingkungan, menulis di blog, misalnya. Selain membangun kreativitas, menulis juga dapat mengasah ketajaman berpikir. Tulisan di blog pun akan dengan mudah dijadikan referensi oleh siapapun yang mengaksesnya, tak terbatas dosen dan mahasiswa yang bersangkutan.

Mungkin ada yang siap-siap protes, lha maumu apa kuliah? Tugas nggak mau, skripsi ogah! Nah, bukan begitu maksud saya Pak, Bu, hehee sabar dulu. Saya sih enjoy saja kalau diminta mengerjakan tugas, menulis skripsi, karena mau protes bagaimanapun radikalnya juga kayaknya dua “makhluk luar biasa” itu tidak akan dihapus dari kurikulum. Saya hanya menyarankan, alangkah syahdunya jika tugas paper, ketimbang diprint, lebih baik di e-mail-kan saja. Kemudian skripsi, selama proses bimbingan, untuk meminimalisir penggunaan kertas, yang akhirnya toh dibuang juga, lebih baik revisi digital saja, maksudnya mahasiswa yang sedang bimbingan menyerahkan soft file berbentuk Microsoft Word, PDF atau apapun itu kepada dosen, jika dosen ingin memberikan koreksi, maka cukup diberi tanda, warna merah misalnya. Untuk hasil akhir, sumonggo pake kertas, karena memang peraturannya begitu. Beberapa dosen ditanah air (yang sadar global warming) juga sudah mulai menerapkan sistem revisi digital dikampus mereka. Horeee… Bukankah yang demikian lebih praktis? Efisien? Tidak mubadzir kertas? (Mudah-mudahan dosbing saya juga mau diajak go green,Aamiin)

Akhirnya semua kembali lagi kepada teman-teman, apakah mau tetap jadi penyokong global warming? Atau ada yang tidak sepakat dengan saya? Boleh boleh, tapi kasih saran yang lebih keren yaa.. Hihihii Saya hanya menyuarakan isi hati teman-teman sesama mahasiswa yang sering mengeluhkan tugas dari dosen yang sejatinya tak pernah serius dikoreksi. Isn’t it irony when we cut down a tree, made paper from it, and write “save our forest” in it?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline