Lihat ke Halaman Asli

Merundung Jomlo adalah Gejala Penyakit Mental

Diperbarui: 27 Agustus 2020   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi sesama jomlo yang mendapat perundungan. (sumber: pexels)

Saya menggunakan kata merundung alih-alih membully, dan kata jomlo alih-alih jomblo semata-mata untuk mencoba membiasakan diri dengan kosa kata baku Bahasa Indonesia. Baiklah. Mari kita mulai.  

Jomlo nampaknya merupakan sasaran empuk untuk dirundung secara terstruktur, sistematik, dan masif di masyarakat.

Mengolok-olok jomlo diterima sebagai kewajaran, bahkan Ridwan Kamil, sebagai pejabat publik pun mengekspresikan obsesi akan jomlo dalam bentuk kebijakan pembuatan Taman Jomblo di Bandung, yang diresmikan pada 14 Januari 2014.

Saya tidak menemukan data resmi populasi jomlo di Indonesia, namun data BPS menunjukkan bahwa jumlah lajang atau orang yang belum menikah mengalami tren peningkatan dalam empat dekade terakhir. 

Sensus BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa 1 dari 14 orang berusia 30-39 tahun belum pernah menikah, dan jumlah itu diprediksikan meningkat pada sensus berikutnya 2020.

Tentunya peningkatan jumlah jomlo di Indonesia adalah kabar gembira bagi para perundung jomlo, karena bertambahnya jumlah target rundungan. Bukankah begitu? Bukan.

Justru sebaliknya. Saya lebih suka melihat bahwa tren peningkatan jumlah jomlo di tanah air sebagai bentuk semacam budaya tanding bagi mereka yang suka merundung jomlo.

Ada semacam persepsi umum bahwa normalnya tahapan kehidupan adalah lahir, dewasa, menikah, punya anak, dan meninggal. Persepsi ini didukung oleh pandangan agama tertentu bahwa orang tua punya kewajiban menikahkan anak. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hidup melajang dilarang agama.

Karena tekanan kebudayaan dan agama tersebut banyak orang yang gemas atau mungkin gusar melihat kaum jomlo yang  seolah olah melawan kodrat yang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Kegusaran tersebut kadang diekspresikan secara kasar dalam bentuk perundungan bergradasi dari paling halus hingga paling kasar kasar, dengan harapan kaum jomlo yang dirundung merasa tidak nyaman dan kemudian buru-buru menikah.

Para jomlo mereaksi perundungan ini secara beragam. Ada yang termotivasi menikah, ada yang merasa tersakiti, dan ada yang melawan dengan brutal.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline