Lihat ke Halaman Asli

Yang Terpinggirkan dan Hilang

Diperbarui: 31 Agustus 2023   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kanal Aceh.id

"Seberapa jauh kita dapat menghubungkan perasaan kita ke orang lain?", Bila manusia banyak tipenya", namaku revaldo, hari ini aku asyik sendirian menatap keremangan langit yang mulai gulita. Pada dasarnya tidak ada yang menginkan kita menjadi diri sendiri, karena terlalu berat.

Ada sesuatu yang tidak bisa dipahami, semua orang memang mengenalku dengan pembelajar yang tekun, ada yang menilai teoiritikus, omong kosong, hal- hal yang aku ragu apa kah itu benar aku?.

Bila berkawan dengan siapapun tanpa pandang bulu karena posisi dia sama sebagai manusia, selalu dicurigai sebagian manusia lain. Atau ketika kita tidak berbicara, seolah- olah keangkuhan terletak kepadaku, atau ketika aku tertawa terbahak- bahak membuat kekonyolan, mereka menilaiku bodoh, tolol, tidak bijak. Dan ketika aku terlalu agamis, seorang menilaiku manipulatif.

Memang aku sangat menyukai filsafat, tetapi, kebingungan selalu menyertaiku harus bagaimana?, Tiada jawaban dari beberapa yang memang tidak menghargai kita, kecuali kita mencari tempat dimana kita bisa dihargai. Aku hanyalah seorang anak kecil, yang suka di dongengin, daripada disuruh atau pun di perintah.

Setelah kematian guruku, ia yang selalu mengajarkan menjadi manusia, tanpa berkata- kata. Aku dahulu bersekolah di pesantren yang kecil biasa saja, tiada yang istimewa. Tetapi setelah kehilangan beliau, semakin kesini dan kesitu tiada apapun yang ku cari kecuali kekosongan.

Barangkali hidup adalah melukis masalah sebelum kematian. Kita terlalu merindukan sesuatu yang abstrak dan tenang abadi, itukah kebenaran? Tuhan?.

Setelah aku melamun lama, aku beranjak pergi menyusuri, hati yang lelah untuk mencari, melihat rerindangan pepohonan, sawah merekah, senyum para petani yang tulus. Tanpa memikirkan apa pun.

Aku ingin menjadi petani, tetapi terlaku kurus tubuhku untuk menopang padi yang menguning. Lantas mau gimana lagi?

Aku tidak pernah dianggap manusia biasa saja. Yang penuh keluputan dan kesalahan. Setelah aku keluar dari pesantren, ketika aku menyangsikan Tuhan. Apakah ia ada?, Lantas kenapa kita menyembahnya hanya butuhnya zaja, atau menyembah dengan penderitaan kita.

Sebenarnya kita mencari siapa?, Aku yakin semua kembali pada diri sendiri. Menjadi manusia diantara paradoks- paradoks manusia.  Aku berjalan kacau, mereka selalu mengintaiku dimana- mana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline