Semenjak itu, Michael selalu memikirkan hal yang berputar- putar mengenai relitas kosmik. Efek LSD yang ia pakai, ketika harapan tidak sesuai kenyataan. Beberapa hal membuat ia jatuh kepada dogmatisme keadiktifan, seperti harta dan wantita. Tetapi setelah mengkonsumsi itu ia menemukan Tuhan baru dalam hatinya.
Tetapi semuanya mengabaikan dia, menganggap dia adalah sampah masyarakat. Seperti layaknya iblis yang selalu disalah- salahkan atas jatuhnya manusia di bumi. Beberapa orang selalu memarjinalkan kelompok- kelompok yang memang tidak bermanfaat. Justru- masyarakat terjebak dalam dunia pragmatism negatif.
Michael suka menyendiri, menikmati segenggam zat itu, sambil memikirkan akankah ia menjadi Wali Tuhan. Beberapa hal yang mengatakan moderasi beragama tidak menyentuh kemanusiaan sama sekali. Agama dianggap sebagai jalan pintas untuk menjadi Tuhan atas orang lain.
Michael dengan kehidupanya yang carut marut, ia hidup sebatang kara, menyusuri padi yang telah lama di panen dalam kehidupan. Akankah selamanya ia berteman dalam kesepian dan kegelapan?
Pada suatu saat ketika ritualnya akan konsumsi tersebut mencapai klimaks, ia membayangkan dunia menjadi berubah, semua berwarna warni, tidak semu seperti kisah hidupnya.
Ia membayangkan akan dunia yang rapuh, manusia menjadi lunak- lunak, hatinya bisa dipengang, ucapanya bisa diwarnai, dalam hal itu ia memimpikan kebahagiaan yang selama kini ia cari.
Perang telah usai, yang berputar- putar adalah pertanyaanya mengenai jalan yang lurus. Apakah memang benar ada jalan yang lurus?
Michael dalam doanya selalu mendoakan iblis untuk hidup bahagia, kepada Tuhan semesta alam. Dia melupakan dirinya yang mabuk kepayang akan LSD.
Dalam efek itu, keberagaman warna adalah keniscayaan, tiada manusia- manusia yang keras akan dirinya sendiri. Seperti besi yang keras ditempa, semua menjadi lunak dan mudah disentuh.
"Kebaikan manusia yang mana, yang mengantarkan manusia kepada kebenaran mutlak?" Pertanyaan Michael kepada awan yang berpelangi.