Lihat ke Halaman Asli

Aku, Kamu dan Mata Kita

Diperbarui: 10 Mei 2023   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Malam itu, bintang- bintang berjejeran gumilang, menandakan komet yang jatuh bersilang, pada saat itu juga aku sempat menemuimu, Wahai Baginda, dan meminjamkaanmu sebongkah kedua bola mata yang jelita.

Aku berikan dengan niscaya, tanpa iming- imingan, janji maupun amplop- amplop yang bertebaran di hati kita. Baginda, aku mencintaimu dengan tulus, tanpa kata dan frasa.

Di jakarta, kemayoran, konon kau akan menuju kesitu dengan secarik harapan- harapan kita, kau akan pergi mengembara, melintasi rasa dan perjalanan dengan usaha. "Tetapi jangan pernah lupakan kedua mata kita ya". Yang akan menjagamu sepanjang usia, dan ketenangan, maka kau tidak akan roboh ataupun dijatuhkan.

Karena kedua mataku, merasakan apa yang dilalui oleh intuisi, menembus rasa simpati. Mataku adalah permata yang tiada bandinganya, bukan Mobil Alphard, Perhiasan emas, atau Cek milyaran yang membuncitkan perutmu dan syahwatmu saja. Tetapi mataku menjunjung tinggi prinsip- prinsip keadilan dan hukum untuk terciptanya kemerdekaan bagi setiap warga negara.

Mataku adalah mata yang meneropong cahaya dalam pada setiap hamba, consista(nurani) itu bungkus luarnya, lebih dari itu, ia tidak bisa dijelaskan oleh perkara- perkara metafisika.

Tetapi Baginda, setelah kau di jakarta, kau lupa dengan masih mengenakan kedua mataku, malah kau tutupi kedua mataku itu dengan kemewahan dari kaca mata hitammu. Kau menyebarkan flexing, kelayakan hidup, hedon, sedangkan aku disini makan seadanya dengan mata yang buta.

Sampai- sampainya kau selalu menggunakan kacamata itu, hingga sempat ada kejadian ribuan masyarakat yang mati di stadion. Gempuran penegak hukum dengan penonton umum, Kau pantulkan cahaya- cahaya manipulasi, seolah- olah itu kejadian yang tidak terduga, dan kau campuri itu dengan data statiska.

Padahal kejadian itu adalah kejadian nyata, dan walaupun mataku buta, tetapi aku bisa merasakan dari luar penglihatan, bahwa ada dugaan- dugaan, scenario halus dalam, oleh efek pantulan kacamatamu itu.

Setelah itu kau malah sibuk, hura- hura, menyusun strategi bagaimana kedua mata kita, tetap bernaung di ditubuhmu. Kau melemparkan berita- berita yang tidak benar, memojokan satu sama lain. Hingga kini suara- suara hoax itu mentulikan pendengaranku.

Kembalilah kedua mataku, aku hanya menitipkanya kepadamu, tapi kau malah lupa dari mana kau akan kembali. Kau malah memuja kedua mata yang bagus yang sesuai ideologimu dan mengagung- agungkan mata, yang memanjakanmu dan memberimu posisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline