Lihat ke Halaman Asli

Suremasi Hukum atau Supremasi Keadilankah?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Supremasi Hukum atau Supremasi Keadilankah?

Negara hukum adalah terjemahan dari  RechtsstaatatauRule of Law. Secara sederhana Rule of Law adalah bentuk rumusan yuridis dari gagasan konstitualisme. Thomas Paine mengartikan Rule of Law, tidak ada yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa. Oleh karena itu , konstitusi dan Negara hukum adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jadi Negara hukum adalah negara yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan hukum. Sehingga negara hukum, menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) yang biasa disebut supremasi hukum (Mustafa Kamal Pasha,2003).

Indonesia sebagai negara yang berkonstitusi juga demikian. Salah satu ciri negara hukum adalah persamaan hak dan kewajiban warga negara di depan hukum. Begitu juga dengan Indonesia, sebagai negara yang telah mengikrarkan dirinya sebagai negara hukum harus berusaha dan berupaya untuk menegakan hukum seadil-adilnya. Tetapi yang terjadi saat ini hukum seolah-olah sudah menyimpang dan tidak lagi pada jalurnya. Hukum dapat diperjual belikan, bahkan banyak kalangan mengatakan bahwa, hukum di Indonesia tajam ke bawah tumpul ke atas. Jika telah begini lalu bagaimana keadilan bisa terwujud jika hukum telah menjadi obyek transaksional. Bagi mereka yang punya uang seolah-olah kebal dengan hukum ,tetapi bagi yang tidak punya uang jangan berharap mendapat keadilan. Ini yang terjadi dalam ranah peradilan.

Lalu bagaimana yang terjadi dalam ranah kehidupan masyarakat? Dengan adanya supremasi hukum maka masyarakat beranggapan bahwa apapun boleh dilakukan yang penting tidak melanggar hukum khususnya hukum negara. Anggapan itu sederhana dan mungkin syarat minimal yang harus di penuhi untuk menjadi warga negara yang baik. Tetapi ternyata anggapan itu tidak cukup unutk membawa masyarakat pada keadilan. Salah satu contoh yang paling sering kita temui adalah ketika kita berada di lampu merah perempatan jalan. Disaat-saat tertentu ada petugas yang berjaga di pos polisi lalu lintas, pada saat itu juga ada hukum disitu karena bagi yang melanggar akan mendapat sanksi. Kemudian coba lihat lagi ketika tidak ada petugas yang jaga, seolah-olah hukum telah lenyap, beberapa pengguna jalan dengan sangat percaya diri melanggar lampu merah. Contoh lain, tidak ada aturan bahwa harus seorng anak harus hormat dan patuh pada orang tua kandung. Sehingga banyak generasi kita yang tidak hormat dan patuh pada orang tuanya, tetapi mereka lebih hormat dan patuh pada orang lain misal pada gurunya, itupun ketika di sekolah saja. Tidak ada aturan bahwa  orang harus jujur pada orang lain, sehingga banyak orang yang tidak jujur. Kebohongan tidak dianggap sebagai hal yang menyimpang karena tidak ada aturan hukumnya.

Kedua fenomena yang terjadi pada lapangan peradilan dan pada kehidupan masyarakat ini bisa kita jadikan sebagai bahan refleksi. Apakah supremasi hukum di Indonesia ini sudah baik atau harus ada refisi. Seharusnya supremasi hukum atau supremasi keadilankah yang baik?

Jika yang menjadi supremasi adalah keadilan mungkin tidak demikian yang terjadi, karena masyarakat tidak lagi berorientasi pada ada dan tidaknya hukum, tetapi pada adil tidaknya sikap yang mereka lakukan. Hakim harus bersifat obyektif, putusannya tidak bisa dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dan berbagai bentuk interfensi. Hakim adalah seseorang yang ditunjuk secara legal memberikan putusan atas suatu perkara. Sehingga ia harus bersifat adil dan obyektif dalam memberika vonis sebagai bentuk tanggungjawabnya. Meskipun tidak ada polisi yang jaga di pos jaga, hukum tetap akan jalan karena mereka harus bersikap adil pada pengguna jalan yang lain sehingga mereka tidak membiarkan dirinya merebut hak jalan orang lain dan menghargainya.Seorang anak harus lebih hormat dan patuh pada orang tuanya dibandingkan dengan orang lain karena orang tuanyalah yang melahirkan dan merawatnya. Dan setiap orang harus jujur pada siapa saja karena itu adalah bentuk keadilan terhadap kehidupan.

Ini adalah beberapa contoh bahwa supremai hukum tidak cukup untuk mencapai kedilan. Hukum jangan dianggap satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan. Hukun hanyalah salah satu jalan untuk mencapai keadilan. Ada banyak jalan lain untuk mencapai keadilan misal, lewat jalur politik, budaya, sosiologi dan lain-lain. Walaupun saat ini jalan hukumlah yang dinilai efektiv untuk mencapai keadilan. Dari berbagai contoh kasus di atas masih relevankah hukum menjadi sesuatu yang supreme di negeri ini? Supremasi hukum harus direvisi, meskipun tidak harus mengubahnya. Hukum diturunkan satu tingkat di bawah keadilan. Keadilanlah yang seharuanya menjadi supremasi di negeri ini. Supremasi keadilan di tegakkan lewat jalur hukum. Seolah-olah ini hanya permainan kata tetapi dampaknya akan sangat berbeda dalam masyarakat. Nilai supremasi ini akan terinternalisasi dalam diri masyarakat yang kemudian akan berkembang menjadi ruh yang menggerakan masyarakat dalam perilaku sehari-hari. Jika yang menjadi supremasi adalah hukum maka yang menjadi pertimbangan dalam berperilaku adalah ada dan tidaknya aturan hukum yang mengatur. Tetapi jika yang menjadi supremasi adalah keadilan maka yang menjadi pertimbangan dalam berperilaku adalah adil atau tidakkah yang mereka lakukan, dan secara tidak langsung meraka telah mematuhi aturan hukun yang berlaku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline