Lihat ke Halaman Asli

Krisna Aditya

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Ikatan "Saudara" untuk Memberikan Persembahan yang Terbaik kepada Tuhan

Diperbarui: 9 Maret 2021   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berkaitan dengan artikel yang sebelumnya saya tulis mengenai "Pentingkah Analisis Sosial Untuk Meningkatkan Empati Demi Kesehatan Lingkungan". Saya memutuskan bersama kelompok untuk melakukan analisis sosial terhadap sebuah komunitas. Namun, saat ini karena keterbatasan jarak dan keadaan pandemi, kami melakukan analisis ini dengan melakukan wawancara daring dengan salah satu pengurus harian di komunitas ini. Sebenarnya, hal ini dapat menjadi lebih menarik apabila kelompok kami melakukan analisis secara langsung atau terjun langsung.

Dengan keterbatasan jarak, Yogyakarta-Bekasi, kami memutuskan untuk melakukan wawancara singkat yang terdengar sedikit canggung dengan wakil ketua komunitas yang merupakan teman dekat saya kebetulan. Kami melakukan wawancara pada tanggal 2 Maret 2021 yang lalu. Dengan menggunakan intrik-intrik yang diajarkan di dalam kelas saat mengikuti kuliah, akhirnya saya dapat mencairkan suasana agar tidak terlalu canggung saat melakukan wawancara.

Komunitas yang kelompok kami pilih adalah komunitas Pemuda Gereja GPIB Dian Kasih yang terbentuknya menurut narasumber sejak ia belum lahir pun sudah ada komunitas itu. Komunitas yang bergerak dibidang keagamaan ini memang selalu berkembang dari tahun ke tahun karena didukung teknologi dan tentunya jumlah jemaat yang terus bertambah. Awal mulanya, memang komunitas ini dibuat untuk melakukan pelayanan terhadap anak-anak dengan pelayanan anak dan akhirnya sekarang sudah melayani lansia dengan adanya Persekutuan Kaum Lanjut Usia atau disingkat PKLU.

Alasan utama kami yang menarik perhatian adalah sebenarnya karena pandemi yang tak kunjung berhenti ini. Seperti yang kita ketahui, biasanya kegiatan keagamaan di Agama Kristen khususnya, lekat dengan pertemuan-pertemuan yang selalu menyanyikan pujian lalu tiba-tiba semua harus berhenti dan digantikan dengan kegiatan yang serba daring (online). Dengan adanya perubahan ini, kami tertarik untuk melihat dan sekaligus menganalisis bagaimana mereka mengatasi hambatan yang terjadi di antara anggota maupun kegiatan yang sudah disusun oleh para anggota serta pengurus sebelumnya dan apakah mereka bertanggungjawab atas apa yang dibebankan kepada mereka?

Di dalam komunitas ini, seperti yang dikatakan di awal, bahwa komunitas ini akhirnya berkembang semakin baik dan semakin banyak memberi pelayanan. Ada 5 kelompok yang dibagi; Pertama adalah persekutuan anak-anak yang isinya berusia 0-12 tahun; Kedua ada kategori taruna yang berisikan remaja berusia 13-17 tahun; Ketiga ada kategori pemuda yang berisikan remaja 18 tahun sampai 35 tahun (belum menikah); Keempat ada golongan bapak ibu yang sudah menikah; Terakhir adalah kaum lansia yang sudah memasuki usia 50 tahun keatas. Seluruh kegiatan komunitas ini digerakkan oleh para pemuda gereja, seperti Worship, rapat untuk menentukan program yang dilaksanakan, kegiatan doa-doa, dan sharing pengalaman mengenai apa yang dialami anggota ataupun sharing mengenai kehidupan sesuai dengan ajaran alkitab dan apa yang harus kita lakukan setelahnya.

Tentu saja, dengan kegiatan yang seluruhnya beralih ke daring, komunitas ini akhirnya juga memiliki hambatan karena tidak pernah tatap muka. Akhirnya masalah mulai muncul dengan sinyal yang tidak terkondisikan, kemampuan mengatasi aplikasi yang kurang dimiliki, lalu rasa bosan karena kegiatan yang dianggap anggotanya monoton. Hal ini menimbulkan masalah karena akhirnya dari keseluruhan 100 anggota, hanya 50 anggota yang terlihat aktif dan berdedikasi untuk keberlangsungan kegiatan komunitas dan gereja.

Hebatnya, dengan kedekatan dan keterikatan anggota yang sudah terbentuk sejak usia muda, komunitas ini dianggap menjadi "keluarga kedua" bagi beberapa anggotanya. Hal ini terasa disaat salah satu anggotanya mengalami masalah, maka mereka akan melakukan sharing atau cerita yang mencerminkan sikap keterbukaan ditengah anggota. Sikap keterbukaan ini merupakan hal yang penting dalam komunitas ini karena mereka sudah tergabung sejak usia belia. Dengan sikap keterbukaan ini, mereka dapat menyelesaikan masalah satu sama lain yang sudah terjadi sejak lama. Masalah yang sudah terselesaikan ini dapat mengubah nasib komunitas ini untuk menjalankan program kerja yang selalu dipersiapkan agar dapat selalu berkarya untuk Tuhan, gereja, dan jemaat lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline