Berpuasa dalam konteks keagamaan seringkali diasosiasikan dengan menahan diri dari makanan dan minuman pada waktu-waktu tertentu.
Dalam beberapa praktik yang ditemukan, fokus puasa tampak sekedar menahan haus dan lapar. Bahkan, berbagai usaha dilakukan untuk menyiasati agar dapat melalui hari dengan kekuatan tanpa makan dan minum.
Namun, apa sejatinya konsep berpuasa? Konsep berpuasa secara lebih luas bermakna lebih dari sekadar menahan diri dari konsumsi makanan dan minuman.
Puasa sejati seharusnya meliputi kemampuan menahan diri dari perilaku buruk dan dosa. Selain itu, berpuasa menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan empati terhadap sesama.
Kesadaran ini melibatkan berbagai tindakan seperti pengendalian diri, pembentukan karakter, dan refleksi diri yang mendalam.
Selain menahan diri dari makanan dan minuman, praktik berpuasa sesungguhnya mengajarkan manusia untuk menahan diri dari perilaku negatif. Misalnya: berbohong, menggosip, marah, malas, dan sebagainya.
Berpuasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu dan memperkuat keinginan untuk berbuat baik.
Lebih dari itu, berpuasa juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan relasi manusia dengan Tuhan atau dengan hal-hal yang dianggap suci dalam keyakinan masing-masing.
Dengan berpuasa, manusia menjadi terbiasa menahan penderitaan fisik yang menghantar manusia semakin dekat kepada-Nya. Tubuh fisik manusia ditempa bersama jiwanya agar selaras dengan kehendak-Nya melalui ibadah, doa, meditasi, atau kontemplasi spiritual yang lebih intens selama periode puasa.
Inilah waktu untuk membersihkan diri dari dosa dan menguatkan iman serta ketakwaan kepada Sang Khalik, Pencipta Semesta Alam.